PIKIRAN RAKYAT - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) turut merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Sebelumnya, putusan tersebut dibacakan MK pada Senin, 16 Oktober 2023, kemarin.
PBHI menyebut ada empat kejanggalan di dalam putusan itu, salah satunya soal kriteria pemohon. Kemudian, sikap MK hingga frasa yang tercantum dalam petitum.
Kejanggalan-kejanggalan tersebut disampaikan PBHI melalui situs resmi mereka, berikut merupakan rinciannya;
Baca Juga: Guspardi Gaus: Berharap Jokowi Tak Beri Restu, Termasuk Gibran Tak Mau Dicalonkan
- Kriteria Pemohon
PBHI mengatakan permohonan seharusnya ditolak sejak awal karena pemohon tidak memenuhi kriteria dasar yang rasional dan relevan dalam permohonannya, yakni; tidak punya kepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai capres/cawapres atau perwakilan partai yang memenuhi electoral threshold, bukan juga Kepala Daerah atau berpengalaman. - Sikap Inkonsisten
PBHI menilai MK bersikap inkonsisten, yakni 6 permohonan lainnya telah ditolak dan tidak melibatkan Ketua MK Anwar Usman. Namun, tiba-tiba dalam Perkara nomor 90, Anwar Usman terlibat, lalu memutar balik putusan MK. - Petitum dan Frasa
PBHI menyebut petitum pemohon perkara nomor 90 tidak relevan antara frasa “usia 40 tahun” dan “berpengalaman sebagai Kepala Daerah” yang harus dimaknai sebagai penambahan frasa (seharusnya Open Legal Policy), bukan pemaknaan frasa. - Sikap Hakim Konstitusi
Menurut PBHI, tidak ada frasa “atau pernah, sedang” dalam petitum yang diajukan pemohon. Artinya, Hakim Konstitusi menambahkan sendiri permohonan dan bertindak seperti pemohon.
Putusan MK
Sebelumnya, MK mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh warga negara Indonesia (WNI), asal Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang memohon agar usia minimal untuk syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
MK menilai bahwa permohonan dari pemohon tersebut memiliki alasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karenanya, MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.