kievskiy.org

Alasan Aneh Larangan Penyiaran Konten Eksklusif Jurnalistik Investigasi, Ancam Kebebasan Berpendapat

Ilustrasi RUU.
Ilustrasi RUU. /PIXABAY/mohamed Hassan PIXABAY/mohamed Hassan

PIKIRAN RAKYAT - Revisi Undang-undang Penyiaran (RUU Penyiaran) menuai kontroversi dalam beberapa pasalnya. Beberapa kontroversi itu terkait klausul pelarangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi yang dinilai bisa mengancam kebebasan berpendapat. 

Selain soal pelarangan konten jurnalisme investigasi, pasal sengketa jurnalistik juga mendapatkan sorotan. Aturan itu dinilai bisa memunculkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia dengan Dewan Pers. 

Wakil Ketua Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari, memberikan beberapa catatan dalam bentuk pointers tentang dua isu yang tengah disorot dalam RUU Penyiaran kepada Pikiran Rakyat pada Minggu, 12 Mei 2024.

Isu pertama adalah mengenai pelarangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 50B ayat (2), butir C, draf RUU Penyiaran. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Standar Isi Siaran memuat larangan mengenai: c.penayangan eksklusif jurnalistik investigasi".

Dalam catatannya, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. 

Berdasarkan catatannya, pelarangan itu juga beranjak dari penghormatan hak publik dalam mendapatkan informasi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, Pasal 28 F. Kemudian, lembaga penyiaran juga ditekankan untuk menaati aturan soal hak siar. Adapun maksud dari hak siar itu adalah hak yang dimiliki Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan mata acara siaran tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Sengketa jurnalistik

Isu kedua dalam catatannya adalah soal sengketa jurnalistik yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers. Dalam catatan Abdul Kharis, isu sengketa jurnalistik itu tercantum dalam Pasal 8A, huruf q, draf RUU Penyiaran. 

Dalam pasal tersebut disebutkan salah satu kewenangan KPI adalah menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran. Menurutnya, hal ini untuk memberikan kepastian hukum kepada KPI dalam menjalankan wewenangnya terkait dengan sengketa jurnalistik yang terjadi pada lembaga penyiaran. 

Selanjutnya, dalam menjalankan kewenangannya, KPI akan berpedoman kepada Pasal 42 yang terdapat dalam draf RUU Penyiaran. Dalam Pasal 42 ayat 1, tertulis bahwa "muatan jurnalistik dalam isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan". 

Lalu, dalam Pasal 42 ayat 2, tertulis bahwa "penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat