kievskiy.org

Kebijakan BPJS Kesehatan Ambigu, Perlu Ada Peraturan Menteri untuk Implementasi KRIS

Ilustrasi BPJS Kesehatan.
Ilustrasi BPJS Kesehatan. /Antara/Aditya Pradana Putra

PIKIRAN RAKYAT - Wacana pemerintah untuk memberlakukan kelas rawat inap standar (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan di seluruh rumah sakit se-Indonesia, disikapi beragam oleh masyarakat. Dalam konteks kebijakan publik, implementasi kelas rawat inap standar (KRIS) melalui Perpres KRIS memiliki beberapa aspek yang perlu disoroti.

Pakar Kebijakan Publik Prof Dr Pandji Santosa menyebutkan, perubahan regulasi menyangkut BPJS akan sangat berdampak pada masyarakat, karena merupakan layanan dasar yang menyangkut sebagian besar masyarakat. Kebijakan yang rencananya mulai diterapkan paling lambat 30 Juni 2025 itu, dapat mempengaruhi kemudahan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dan ketersediaannya.

Dampaknya bisa berupa peningkatan biaya perawatan, penurunan cakupan layanan, atau pembatasan akses ke fasilitas kesehatan tertentu. Perubahan kebijakan juga dapat berdampak pada kualitas layanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat.

“Jika perubahan kebijakan mengakibatkan pengurangan anggaran atau perubahan dalam pengawasan, hal ini dapat mempengaruhi kualitas pelayanan dan kondisi fasilitas kesehatan. Masyarakat mungkin mengalami penurunan standar pelayanan, peningkatan waktu tunggu, atau penurunan kualitas fasilitas kesehatan,” ucap Pandji pada Rabu 15 Mei 2024.

Perubahan kebijakan yang berdampak besar dapat mempengaruhi pandangan dan dukungan masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Jika perubahan kebijakan dianggap tidak adil, tidak transparan, atau tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan kurangnya kepercayaan. Masyarakat mungkin melakukan protes atau menolak kebijakan tersebut.

Dikatakan Pandji, dalam situasi seperti BPJS Kesehatan, masyarakat memiliki hak untuk menolak atau mengajukan keberatan terhadap perubahan kebijakan yang diumumkan. Pemerintah dan lembaga terkait biasanya menyediakan cara bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat mereka, mengajukan keluhan, atau memberikan saran terkait perubahan kebijakan tersebut.

“Beberapa cara yang umum digunakan adalah melalui konsultasi publik, survei atau kuesioner, serta melalui kelompok advokasi atau organisasi masyarakat yang mewakili kepentingan mereka. Dengan demikian, masyarakat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan mempengaruhi kebijakan yang akan berdampak pada kehidupan mereka,” katanya.

Bagi perubahan regulasi yang memiliki dampak besar bagi masyarakat seperti BPJS Kesehatan, dilanjutkan Pandji, penting untuk mempertimbangkan etika dalam pengumuman perubahan kebijakan tersebut kepada masyarakat. Hal itu didasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) seperti transparansi, partisipasi masyarakat, komunikasi efektif, keadilan, dan keseimbangan.

Hal tersebut memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat. Dengan memperhatikan aspek-aspek ini, pemerintah dapat memastikan bahwa sosialisasi perubahan kebijakan dilakukan dengan etika yang tepat dan menghormati kepentingan serta hak masyarakat yang terkena dampak.

Terkait kebijakan yang dikeluarkan di akhir masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, Pandji melihat bahwa secara teoritis, kebijakan tersebut memang dapat dianalisis dalam konteks politik, sosial, dan ekonomi yang lebih luas. Sehingga, dapat membantu pemahaman yang mendalam tentang niat dan tujuan pembuat kebijakan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat