kievskiy.org

Korban Terorisme Harus Dapat Perhatian Khusus, Ini Rekomendasi dari Komnas Perempuan

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy (tengah), Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei (kanan), dan Komisioner Komnas Perempuan Veryanto (kiri).
Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy (tengah), Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei (kanan), dan Komisioner Komnas Perempuan Veryanto (kiri). /Pikiran Rakyat/Asep Bidin Rosidin

PIKIRAN RAKYAT - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis hasil kajian dan hasil pemetaan pengalaman perempuan terdampak terorisme yang disusun pada 2023. Kajian dan pemetaan tersebut dilakukan Komnas Perempuan pada perempuan terdampak aksi terorisme di wilayah Bali, Jawa Timur, Sulawei Tengah (Sulteng), dan Jakarta.

Hasil dari kajian dan pemetaan tersebut, perempuan korban aksi terorisme mengalami penderitaan fisik dan psikis. Tidak hanya itu, mereka juga merasakan dampak di bidang ekonomi dan sosial. Penderitaan fisik di antaranya, yakni menderita luka bakar 70 persen hingga 80 persen, menjadi disabilitas, dan mengalami gangguan kesehatan reproduksi.

“Berdasarkan temuan Komnas Perempuan ada beberapa dampak. Yang pertama, tentu kehilangan nyawa atau kehilangan keluarga. Kemudian, ada korban fisik antara lain menjadi disabilitas permanen akibat tindakan terorisme,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahei di Depok, Jawa Barat pada Selasa, 25 Juni 2024.

Pada dampak psikis, perempuan korban terorisme mengalami trauma berkepanjangan dan gangguan reproduksi seperti periode menstruasi yang berhenti lebih awal, padahal belum memasuki masa menopause. “Akibat trauma yang mendalam itu dia berhenti dari fungsi reproduksinya,” ujar Imam.

Lebih lanjut Imam memaparkan, dari segi ekonomi, perempuan korban terorisme di Poso, Sulteng, banyak yang kehilangan pekerjaan. Sebab, lahan yang mereka miliki tidak bisa digarap lagi lantaran tidak ada jaminan keamanan.

“Dampak sosialnya juga banyak sekali yang ditemukan. Antara lain dimintai bercerai oleh mertua karena istri ketika mengalami korban itu sudah tidak dianggap layak lagi untuk menjadi istri. Ini juga terkait dengan konsep ketubuhan. Biasanya perempuan itu, cantik itu dipersepsikan oleh laki-laki,” ucap Imam.

Kemudian, Komnas Perempuan juga menemukan bahwa layanan kedaruratan medis untuk para korban bom bunuh diri seringkali menghadapi hambatan birokrasi administrasi. Akibatnya ada penundaan pada kedaruratan keselamatan nyawa dan kesehatan para korban. Layanan pemulihan fisik yang terbatas yang dihadapi oleh para penyintas memaksa korban fokus pada kesembuhan luka fisik yang diderita.

Komnas Perempuan menyebut korban aksi terorisme berupaya secara mandiri, bahkan dengan biaya sendiri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, kesulitan akses karena kondisi fisik yang masih lemah, memberikan beban biaya tambahan untuk perawatan medis lanjutan.

Selanjutnya, layanan pemulihan psikis yang terbatas menyebabkan rasa trauma dan penderitaan psikis yang dialami para penyintas dan keluarga belum benar-benar terpulihkan. Tidak sinerginya pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdampak pada akses layanan terhadap para penyintas. Karena isu terorisme dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah pusat, sehingga kondisi korban menjadi terabaikan pada aspek-aspek kehidupan yang dapat mendukung pemulihan.

“Para penyintas memainkan daya resiliensinya menghadapi penderitaan yang dialami dalam jangka waktu yang lama karena dukungan dari dalam diri, keluarga, dan berbagai pihak seperti lembaga pendamping,” ucap Imam.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat