kievskiy.org

Kabar E-Sport Masuk Kurikulum Sekolah, Selalu Soal Pertempuran Nilai-Nilai Lama dan Baru

Seorang anak bermain gim daring di rumahnya, Jalan KH Wahid Hasyim, Kota Bandung, Minggu 28 November 2021..
Seorang anak bermain gim daring di rumahnya, Jalan KH Wahid Hasyim, Kota Bandung, Minggu 28 November 2021.. /Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar

PIKIRAN RAKYAT - Pekan lalu, beredar kabar bahwa Kementerian ­Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi ­(Kemendikbudristek) akan memasukkan e-sport ke dalam kurikulum SMP dan SMA.
 
Akan tetapi, ­Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar ­Kurikulum dan ­Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek ­membantah kabar tersebut. ­Kemendikbudristek tidak memuat dan berencana memuat e-sport sebagai ­materi wajib di tingkat nasional. 
 
”Tapi, bukan berarti sekolah tak boleh memasukkan e-sport dalam kurikulum sekolahnya. Jika e-sport dipandang relevan, sekolah boleh saja menjadikannya materi dalam kurikulumnya,” katanya, Sabtu 27 November 2021.
 
Menurut dia, yang perlu dipasti­kan adalah e-sport atau materi apa pun yang digunakan menjadi sa­rana untuk mengembangkan ka­rak­ter dan kompetensi dasar, sebagaimana ditetapkan dalam kurikulum nasional.
 
 
 
Ia mengilustrasikan, materi e-sport bisa dijadikan sebagai tema untuk menganalisis dan mengevaluasi ragam permainan ter­sebut yang sudah ada selama ini.
 
”E-sport bisa dibahas sebagai sebuah fenomena ekonomi ba­ru dan bagaimana hal itu bisa dimanfaat­kan sebagai pe­luang wirausaha. De­ngan begitu, materinya bisa menjadi bagian dari pengembangan lite­rasi finansial atau pemantik diskusi tentang kecanduan internet dan ba­gaimana menggunakan internet secara sehat,” tuturnya. 
 
Anindito mengatakan, terlepas dari kabar keliru me­nge­nai e-sport yang masuk kurikulum nasional, kabar ter­sebut pada dasarnya memantik perdebatan menarik tentang kurikulum.
 
Seiring dengan perdebatan, ada yang pro dan kontra terhadapnya. Hal itu juga sekaligus men­cerminkan perbedaan nilai, kebutuhan, atau kepentingan yang ada di masyarakat. 
 
Akan tetapi, pada akhirnya, ruang yang ada di kurikulum akan terba­tas. Akan ada materi yang terpilih dan tidak.
 
 
”Jika semua materi yang dianggap penting oleh sebagian orang harus masuk kurikulum, yang menjadi korban adalah siswa,” katanya. 
 
Menurut dia, kurikulum yang ter­lalu padat hanya akan mendo­rong guru untuk kejar tayang. Guru akan dipaksa mengandalkan cera­mah tan­pa sempat mengajak siswa ber­diskusi dan berpikir untuk me­ma­hami materi. Tugas yang diberi­kan juga akan ber­tumpuk dan tanpa umpan balik ber­makna.
 
Berangkat dari kondisi itu, ia me­ngatakan, pada dasar­nya, ku­ri­ku­lum nasional mencerminkan standar minimal.
 
Kurikulum nasional seharusnya me­netapkan hal-hal ­esensial yang relevan bagi semua sis­wa dan warga negara, bukan siswa sebagai calon seniman, calon insi­nyur, atau calon dokter. 
 
”Oleh karena itu, sebenar­nya yang ditetapkan Kemendikbudristek bukanlah kurikulum sekolah, melain­kan kerangka dan struktur da­­sar kurikulum. Sekolahlah yang berwenang mengembangkan kurikulum operasio­nal yang men­jadi panduan bagi guru untuk me­la­kukan pembelajaran di kelas, membuatnya relevan dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa,” tutur­nya. 
 
Ia mengatakan, pekerja­an ru­mah Kemendikbudristek saat ini ada­lah merancang kerangka dan struktur dasar yang mendorong kontekstua­lisasi kurikulum se­kolah. Oleh sebab itu, kerangka dan struktur dasar itu harus fleksibel. ”Harus benar-benar ber­­fokus pada hal-hal yang paling esensial,” ujar­nya. 
 
Jangan berprasangka
 
Ketua Harian Pengurus Pro­vinsi Esport Indonesia (ESI) Jawa Barat M. Budiana me­nilai, rencana masuknya e-sport ke dalam kurikulum sekolah perlu disikapi bijak tanpa prasangka buruk.
 
Diseminasi, bahkan riset, perlu dilakukan terlebih dahulu sebagai bagian dari tahapan penyusunan rancang ba­ngun kurikulum e-sport.
 
 
Selain itu, pemerintah melalui Kemen­dikbud dan juga PB ESI perlu terbuka dan arif mendengar­kan masukan dari semua pemangku kepentingan, ter­utama pakar olah raga serta ahli tek­nologi informasi dalam pe­nyu­sunan kurikulum e-sport. 
 
”Jangan berprasangka buruk le­bih dulu soal e-sport masuk kurikulum sekolah. Ja­ngan curiga sebelum dicoba. E-sport su­dah dilembagakan dengan terbentuknya PB ESI, sudah diakui sebagai olah raga oleh KONI yang artinya memiliki banyak nilai positif,” ujar Budiana.
 
Dia menilai, setiap kurikulum dirancang melalui proses yang terdiri dari tahapan-ta­hapan secara terstruktur dan dipikirkan secara saksama. Pada proses itulah diperhitungkan dan ditelaah berbagai aspek, termasuk efek.
 
”Banyak cara memicu krea­tivitas anak, salah satunya melalui gim. Terhadap efek-efek negatif, misalnya ke­kha­watiran anak akan kecanduan gim itu juga perlu dipikirkan, tapi tidak berarti mengam­bing­hitamkan e-sport karena sebelum e-sport ada juga gim sudah bertebaran. Langkah preventifnya yang perlu dirancang. Kalau (kurikulum e-sport) disetujui, aspek kekha­watir­an diminimalkan. Misal­k­an ada pe­lajaran cara membuat gim, memacu bersikap bijak main gim, atau edukasi lainnya untuk mencegah adiksi. PB ESI pasti siap ber­kontribusi membantu,” ujar Budiana.
 
Apabila setelah melalui pe­ren­canaan matang, tapi da­lam perjalanannya penerapan kurikulum e-sport ini memang justru menimbulkan le­bih banyak efek negatif, kata Budiana, tidak ada yang akan kontra apabila kurikulum itu dihentikan.
 
”Sederhananya, ka­lau mudaratnya lebih ba­nyak, harus dihentikan. Namun selama membawa kemanfaatan, membawa maslahat, lanjutkan,” ujar Budiana.
 
Diskusi mendalam
 
Sitha Koosdina Suryaning­rum, psikolog dari Partnerinc, berpendapat bahwa gagasan memasukkan e-sport ke da­lam kurikulum SMP dan SMA adalah menarik.
 
Akan te­tapi, tentunya perlu di­di­s­kusi­kan secara lebih menda­lam dan mempertimbangkan berbagai perspektif. 
 
”Tentu saja, perspektif yang paling utama adalah kompetensi dan kesejahteraan siswa. E-sport semakin marak di ka­langan para remaja dan po­tensi Indonesia untuk meraih prestasi internasional di bi­dang ini juga menjanjikan,” katanya. 
 
Meski demikian, Sitha mengatakan, perlu dipertimbangkan dalam penerapannya, baik pengembangan ku­ri­kulum maupun kesiapan sumber daya pendukungnya.
 
Sebelum menjadi kebijakan yang akan berlaku secara ­luas, sebaiknya dilakukan se­macam proyek percontohan (pilot project) dan/atau me­lalui kegiatan ekstrakurikuler.
 
”Saya bukan akademisi yang mendalami tentang ini sehingga tidak memiliki pe­nelitian yang menguji dam­pak e-sport terhadap psikis siswa. Sebagai praktisi, saya belum menemukan kasus ter­kait dengan e-sport di tempat saya praktik,” katanya. 
 
Perlu diingat, ada perbedaan antara e-sport dan gaming. Kalau anak ha­nya bermain gim tanpa tuju­an pada waktu luangnya, itu bisa dikatakan gaming.
 
Akan berdampak buruk jika ber­main gim tanpa tujuan dan me­lupakan segala tugasnya. Apalagi jika tidak diikuti/diimbangi dengan kecakapan meregulasi diri (self regulation) yang memadai.
 
Sementara itu, e-sport sudah memiliki panduan yang jelas atau peraturan terkait dengan latihan, kompetisi termasuk di dalamnya waktu untuk istirahat agar dapat meraih pres­tasi.
 
Dia juga mengingatkan perlu ada batasan agar wacana ini dapat bermanfaat besar bagi siswa. Batasannya tentu mengikuti aturan dalam e-sport.
 
”Namun, saya bukan ahlinya dalam e-sport. Untuk memastikan batasan, perlu dilakukan investigasi dampak positif dan negatif (benefit & cost) melalui pilot project sebagai trial yang me­libatkan ahli dari berbagai di­siplin ilmu (pendidikan, e-sport, kesehatan, termasuk kesehatan mental),” ujar Sitha.
 
Perlu riset
 
Pengamat kebijakan pendi­dikan sekaligus guru besar Universitas Pendidikan Indo­nesia Cecep Darmawan menilai, gim bisa saja digunakan dalam metode pembelajaran. Namun, bergantung jenis dan dampak gim tersebut kepada siswa.
 
Ada riset yang mengung­kapkan bahwa gim bisa me­ning­katkan daya nalar dan kreativitas anak. Namun, gim jenis tertentu juga bisa ber­dampak negatif, seperti gim yang mengandung konten ke­kerasan.
 
Oleh karena itu, perlu diadakan riset terlebih da­hulu gim apa yang akan dipakai untuk metodologi pembelajaran. Gim harus memberikan dampak positif kepada siswa.
 
Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan riset ter­kait tentang dan rugi pene­rap­an gim dalam metode pem­belajaran.
 
Tak hanya me­libatkan ahli digital, ahli pendidikan juga perlu dilibatkan dalam riset tersebut. Dengan mengadakan riset, bisa dipas­tikan manfaatkan pengguna­an gim sehingga pemerintah tak sekadar mencoba-coba metode pembelajaran dengan gim.
 
”Kalau hasil riset itu menunjukkan banyak hal positif dalam penggunaan gim, berarti bisa dipakai. Kalau ba­nyak hal negatif, dianjurkan tidak digunakan,” ucap Cecep, Minggu 28 November 2021.
 
Dalam riset itu, cari tahu hasil pembelajaran di negara lain yang telah menerapkan penggunaan gim.
 
Menurut Ce­cep, sebetulnya apabila dirancang dengan baik, gim bisa digunakan dalam metode pembelajaran.
 
Sejauh ini, gim yang dimainkan secara langsung sudah diterapkan sebagai metode pembelajaran. Con­tohnya permainan drama.
 
Tentu gim daring berbeda dengan gim konvensional yang dimainkan secara langsung. Namun, pada dasarnya, gim bisa diterapkan untuk metode pembelajaran.
 
”Gim bisa digunakan dalam pembelajaran, tetapi disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, jenis gim yang cocok untuk pembelajaran dan faktor psi­kologis, cocok atau tidak gim itu untuk anak,” kata Cecep.
 
Meski demikian, akan tetap ada esensi yang hilang dalam gim olah raga elektro­nik yang akan diterapkan pemerintah. Terutama aspek psikomotorik karena dalam gim olahraga elektronik, tu­buh siswa tidak bergerak.
 
kemampuan olahraga juga tidak bisa didapatkan dari gim olahraga elektronik karena kemampuannya hanya bisa didapatkan lewat praktik langsung. Lewat gim olahraga elektronik, siswa hanya bisa memperhatikan teknik-teknik olahraga.
 
Harus jelas
 
Ketua Indonesia eSports Association (IESPA), Eddy Lim kurang memahami apa alasan memasukkan e-sport dalam kurikulum SMP dan SMA. Menurut dia, harus jelas apa yang mau diajarkan.
 
”Kalau berbicara kurikulum, pasti ada pembelajaran. Jadi, pertama harus jelas dulu apa yang mau diajarkan. Tidak mungkin menyuruh anak SMP dan SMA main gim selama dua jam pelajaran. Kita larang saja mereka pasti main, kok. Jadi kurang masuk di akal,” katanya.
 
Bila berbicara pembibitan, untuk menjadi atlet, menurut dia, justru tidak perlu dari usia dini. Karena, untuk menjadi atlet dan berbicara prestasi, dibutuhkan kematangan mental.
 
”Kemata­ngan mental ini dalam artian sudah dewasa di dalam membuat keputusan. Lalu sudah tahu batasan, mana yang baik dan tidak, serta apa tanggung jawab sebagai atlet. Kita bicara simpel saja, e-sport banyak gimnya dan ada batasan yang untuk usia 16+, 18+, dan 21+. Kalau semua dipukul rata dari SMP dan SMA, secara batasan usia saja tidak mungkin, tidak masuk. Logikanya seperti itu,” tuturnya.
 
Kematangan mental untuk menjadi seorang atlet e-sport itu rata-rata ada di usia SMA kelas 3 hingga perguruan tinggi ke atas.
 
Mereka, ujar Eddy, sudah serius memutuskan untuk mengambil jalur tersebut dan sudah tahu kemampuan mereka.
 
”Karena sama dengan cabang-cabang olah raga lainnya, usia keemasan atlet e-sport itu ada di 21-23 tahun,” ujarnya.
 
Eddy menyarankan, lebih baik untuk SMP dan SMA mungkin hanya sebatas pengenalan apa itu e-sport, tapi tidak sampai harus menjadi kurikulum. Menurut dia, biarkan anak-anak memilih jalurnya terlebih dahulu.
 
”Jangan langsung didorong spesifikasi, biarkan mereka memilih sesuai dengan kematangan usianya. Tidak perlu dipaksakan masuk sebagai kurikulum,” ucapnya. (Arif Budi Kristanto, Eva Fahas, Ra­ni Ummi Fadila, Muhammad Ashari, Wi­na Setyawatie)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat