PIKIRAN RAKYAT - Pekan lalu, beredar kabar bahwa Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan memasukkan e-sport ke dalam kurikulum SMP dan SMA.
Akan tetapi, Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek membantah kabar tersebut. Kemendikbudristek tidak memuat dan berencana memuat e-sport sebagai materi wajib di tingkat nasional.
”Tapi, bukan berarti sekolah tak boleh memasukkan e-sport dalam kurikulum sekolahnya. Jika e-sport dipandang relevan, sekolah boleh saja menjadikannya materi dalam kurikulumnya,” katanya, Sabtu 27 November 2021.
Menurut dia, yang perlu dipastikan adalah e-sport atau materi apa pun yang digunakan menjadi sarana untuk mengembangkan karakter dan kompetensi dasar, sebagaimana ditetapkan dalam kurikulum nasional.
Ia mengilustrasikan, materi e-sport bisa dijadikan sebagai tema untuk menganalisis dan mengevaluasi ragam permainan tersebut yang sudah ada selama ini.
”E-sport bisa dibahas sebagai sebuah fenomena ekonomi baru dan bagaimana hal itu bisa dimanfaatkan sebagai peluang wirausaha. Dengan begitu, materinya bisa menjadi bagian dari pengembangan literasi finansial atau pemantik diskusi tentang kecanduan internet dan bagaimana menggunakan internet secara sehat,” tuturnya.
Anindito mengatakan, terlepas dari kabar keliru mengenai e-sport yang masuk kurikulum nasional, kabar tersebut pada dasarnya memantik perdebatan menarik tentang kurikulum.
Seiring dengan perdebatan, ada yang pro dan kontra terhadapnya. Hal itu juga sekaligus mencerminkan perbedaan nilai, kebutuhan, atau kepentingan yang ada di masyarakat.
Akan tetapi, pada akhirnya, ruang yang ada di kurikulum akan terbatas. Akan ada materi yang terpilih dan tidak.
”Jika semua materi yang dianggap penting oleh sebagian orang harus masuk kurikulum, yang menjadi korban adalah siswa,” katanya.
Menurut dia, kurikulum yang terlalu padat hanya akan mendorong guru untuk kejar tayang. Guru akan dipaksa mengandalkan ceramah tanpa sempat mengajak siswa berdiskusi dan berpikir untuk memahami materi. Tugas yang diberikan juga akan bertumpuk dan tanpa umpan balik bermakna.
Berangkat dari kondisi itu, ia mengatakan, pada dasarnya, kurikulum nasional mencerminkan standar minimal.
Kurikulum nasional seharusnya menetapkan hal-hal esensial yang relevan bagi semua siswa dan warga negara, bukan siswa sebagai calon seniman, calon insinyur, atau calon dokter.
”Oleh karena itu, sebenarnya yang ditetapkan Kemendikbudristek bukanlah kurikulum sekolah, melainkan kerangka dan struktur dasar kurikulum. Sekolahlah yang berwenang mengembangkan kurikulum operasional yang menjadi panduan bagi guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, membuatnya relevan dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa,” tuturnya.
Ia mengatakan, pekerjaan rumah Kemendikbudristek saat ini adalah merancang kerangka dan struktur dasar yang mendorong kontekstualisasi kurikulum sekolah. Oleh sebab itu, kerangka dan struktur dasar itu harus fleksibel. ”Harus benar-benar berfokus pada hal-hal yang paling esensial,” ujarnya.
Jangan berprasangka
Ketua Harian Pengurus Provinsi Esport Indonesia (ESI) Jawa Barat M. Budiana menilai, rencana masuknya e-sport ke dalam kurikulum sekolah perlu disikapi bijak tanpa prasangka buruk.
Diseminasi, bahkan riset, perlu dilakukan terlebih dahulu sebagai bagian dari tahapan penyusunan rancang bangun kurikulum e-sport.
Baca Juga: SD di Skotlandia Meminta Siswa dan Guru Pria Pakai Rok ke Sekolah untuk Promosikan Kesetaraan
Selain itu, pemerintah melalui Kemendikbud dan juga PB ESI perlu terbuka dan arif mendengarkan masukan dari semua pemangku kepentingan, terutama pakar olah raga serta ahli teknologi informasi dalam penyusunan kurikulum e-sport.
”Jangan berprasangka buruk lebih dulu soal e-sport masuk kurikulum sekolah. Jangan curiga sebelum dicoba. E-sport sudah dilembagakan dengan terbentuknya PB ESI, sudah diakui sebagai olah raga oleh KONI yang artinya memiliki banyak nilai positif,” ujar Budiana.
Dia menilai, setiap kurikulum dirancang melalui proses yang terdiri dari tahapan-tahapan secara terstruktur dan dipikirkan secara saksama. Pada proses itulah diperhitungkan dan ditelaah berbagai aspek, termasuk efek.
”Banyak cara memicu kreativitas anak, salah satunya melalui gim. Terhadap efek-efek negatif, misalnya kekhawatiran anak akan kecanduan gim itu juga perlu dipikirkan, tapi tidak berarti mengambinghitamkan e-sport karena sebelum e-sport ada juga gim sudah bertebaran. Langkah preventifnya yang perlu dirancang. Kalau (kurikulum e-sport) disetujui, aspek kekhawatiran diminimalkan. Misalkan ada pelajaran cara membuat gim, memacu bersikap bijak main gim, atau edukasi lainnya untuk mencegah adiksi. PB ESI pasti siap berkontribusi membantu,” ujar Budiana.
Apabila setelah melalui perencanaan matang, tapi dalam perjalanannya penerapan kurikulum e-sport ini memang justru menimbulkan lebih banyak efek negatif, kata Budiana, tidak ada yang akan kontra apabila kurikulum itu dihentikan.
”Sederhananya, kalau mudaratnya lebih banyak, harus dihentikan. Namun selama membawa kemanfaatan, membawa maslahat, lanjutkan,” ujar Budiana.
Diskusi mendalam
Sitha Koosdina Suryaningrum, psikolog dari Partnerinc, berpendapat bahwa gagasan memasukkan e-sport ke dalam kurikulum SMP dan SMA adalah menarik.
Akan tetapi, tentunya perlu didiskusikan secara lebih mendalam dan mempertimbangkan berbagai perspektif.
”Tentu saja, perspektif yang paling utama adalah kompetensi dan kesejahteraan siswa. E-sport semakin marak di kalangan para remaja dan potensi Indonesia untuk meraih prestasi internasional di bidang ini juga menjanjikan,” katanya.
Meski demikian, Sitha mengatakan, perlu dipertimbangkan dalam penerapannya, baik pengembangan kurikulum maupun kesiapan sumber daya pendukungnya.
Sebelum menjadi kebijakan yang akan berlaku secara luas, sebaiknya dilakukan semacam proyek percontohan (pilot project) dan/atau melalui kegiatan ekstrakurikuler.
”Saya bukan akademisi yang mendalami tentang ini sehingga tidak memiliki penelitian yang menguji dampak e-sport terhadap psikis siswa. Sebagai praktisi, saya belum menemukan kasus terkait dengan e-sport di tempat saya praktik,” katanya.
Perlu diingat, ada perbedaan antara e-sport dan gaming. Kalau anak hanya bermain gim tanpa tujuan pada waktu luangnya, itu bisa dikatakan gaming.
Akan berdampak buruk jika bermain gim tanpa tujuan dan melupakan segala tugasnya. Apalagi jika tidak diikuti/diimbangi dengan kecakapan meregulasi diri (self regulation) yang memadai.
Sementara itu, e-sport sudah memiliki panduan yang jelas atau peraturan terkait dengan latihan, kompetisi termasuk di dalamnya waktu untuk istirahat agar dapat meraih prestasi.
Dia juga mengingatkan perlu ada batasan agar wacana ini dapat bermanfaat besar bagi siswa. Batasannya tentu mengikuti aturan dalam e-sport.
”Namun, saya bukan ahlinya dalam e-sport. Untuk memastikan batasan, perlu dilakukan investigasi dampak positif dan negatif (benefit & cost) melalui pilot project sebagai trial yang melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu (pendidikan, e-sport, kesehatan, termasuk kesehatan mental),” ujar Sitha.
Perlu riset
Pengamat kebijakan pendidikan sekaligus guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan menilai, gim bisa saja digunakan dalam metode pembelajaran. Namun, bergantung jenis dan dampak gim tersebut kepada siswa.
Ada riset yang mengungkapkan bahwa gim bisa meningkatkan daya nalar dan kreativitas anak. Namun, gim jenis tertentu juga bisa berdampak negatif, seperti gim yang mengandung konten kekerasan.
Oleh karena itu, perlu diadakan riset terlebih dahulu gim apa yang akan dipakai untuk metodologi pembelajaran. Gim harus memberikan dampak positif kepada siswa.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan riset terkait tentang dan rugi penerapan gim dalam metode pembelajaran.
Tak hanya melibatkan ahli digital, ahli pendidikan juga perlu dilibatkan dalam riset tersebut. Dengan mengadakan riset, bisa dipastikan manfaatkan penggunaan gim sehingga pemerintah tak sekadar mencoba-coba metode pembelajaran dengan gim.
”Kalau hasil riset itu menunjukkan banyak hal positif dalam penggunaan gim, berarti bisa dipakai. Kalau banyak hal negatif, dianjurkan tidak digunakan,” ucap Cecep, Minggu 28 November 2021.
Dalam riset itu, cari tahu hasil pembelajaran di negara lain yang telah menerapkan penggunaan gim.
Menurut Cecep, sebetulnya apabila dirancang dengan baik, gim bisa digunakan dalam metode pembelajaran.
Sejauh ini, gim yang dimainkan secara langsung sudah diterapkan sebagai metode pembelajaran. Contohnya permainan drama.
Tentu gim daring berbeda dengan gim konvensional yang dimainkan secara langsung. Namun, pada dasarnya, gim bisa diterapkan untuk metode pembelajaran.
”Gim bisa digunakan dalam pembelajaran, tetapi disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, jenis gim yang cocok untuk pembelajaran dan faktor psikologis, cocok atau tidak gim itu untuk anak,” kata Cecep.
Meski demikian, akan tetap ada esensi yang hilang dalam gim olah raga elektronik yang akan diterapkan pemerintah. Terutama aspek psikomotorik karena dalam gim olahraga elektronik, tubuh siswa tidak bergerak.
kemampuan olahraga juga tidak bisa didapatkan dari gim olahraga elektronik karena kemampuannya hanya bisa didapatkan lewat praktik langsung. Lewat gim olahraga elektronik, siswa hanya bisa memperhatikan teknik-teknik olahraga.
Harus jelas
Ketua Indonesia eSports Association (IESPA), Eddy Lim kurang memahami apa alasan memasukkan e-sport dalam kurikulum SMP dan SMA. Menurut dia, harus jelas apa yang mau diajarkan.
”Kalau berbicara kurikulum, pasti ada pembelajaran. Jadi, pertama harus jelas dulu apa yang mau diajarkan. Tidak mungkin menyuruh anak SMP dan SMA main gim selama dua jam pelajaran. Kita larang saja mereka pasti main, kok. Jadi kurang masuk di akal,” katanya.
Bila berbicara pembibitan, untuk menjadi atlet, menurut dia, justru tidak perlu dari usia dini. Karena, untuk menjadi atlet dan berbicara prestasi, dibutuhkan kematangan mental.
”Kematangan mental ini dalam artian sudah dewasa di dalam membuat keputusan. Lalu sudah tahu batasan, mana yang baik dan tidak, serta apa tanggung jawab sebagai atlet. Kita bicara simpel saja, e-sport banyak gimnya dan ada batasan yang untuk usia 16+, 18+, dan 21+. Kalau semua dipukul rata dari SMP dan SMA, secara batasan usia saja tidak mungkin, tidak masuk. Logikanya seperti itu,” tuturnya.
Kematangan mental untuk menjadi seorang atlet e-sport itu rata-rata ada di usia SMA kelas 3 hingga perguruan tinggi ke atas.
Mereka, ujar Eddy, sudah serius memutuskan untuk mengambil jalur tersebut dan sudah tahu kemampuan mereka.
”Karena sama dengan cabang-cabang olah raga lainnya, usia keemasan atlet e-sport itu ada di 21-23 tahun,” ujarnya.
Eddy menyarankan, lebih baik untuk SMP dan SMA mungkin hanya sebatas pengenalan apa itu e-sport, tapi tidak sampai harus menjadi kurikulum. Menurut dia, biarkan anak-anak memilih jalurnya terlebih dahulu.
”Jangan langsung didorong spesifikasi, biarkan mereka memilih sesuai dengan kematangan usianya. Tidak perlu dipaksakan masuk sebagai kurikulum,” ucapnya. (Arif Budi Kristanto, Eva Fahas, Rani Ummi Fadila, Muhammad Ashari, Wina Setyawatie)***