kievskiy.org

Warga Cipeundeuy Sulit Jangkau Listrik Meski Tinggal Dekat Waduk PLTA Cirata, Terpaksa Nyolok hingga Ngajepret

Warga duduk-duduk di rumah yang berlokasi di Lengkob, Kampung Lemahduhur, Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Senin, 11 Desember 2023. Warga Lengkob masih sulit memperoleh listrik dan mengandalkan pasokan setrum dengan "nyolok" listrik.
Warga duduk-duduk di rumah yang berlokasi di Lengkob, Kampung Lemahduhur, Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Senin, 11 Desember 2023. Warga Lengkob masih sulit memperoleh listrik dan mengandalkan pasokan setrum dengan "nyolok" listrik. /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto

PIKIRAN RAKYAT - Kesibukan Deni Mulyana (25) nyugu atau menyerut balok kayu untuk kosen rumahnya mendadak terhenti. Aliran listrik di rumahnya yang berada di kawasan Lengkob, Kampung Lemahduhur, RT/RW 2, Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat mati. Ia lumayan dongkol dengan kejadian itu. Namun Deni mafhum, listrik bukan mati massal atau diputuskan oleh otoritas setrum negeri ini.

Hal itu terjadi karena ada pengguna lain yang tengah memakai listrik. Begitulah kondisi yang terkadang dialami Deni. Aktivitasnya bisa tiba-tiba terhenti karena listrik ngajepret atau mati. Ya, pasokan setrum tempat tinggalnya memang masih "nyolok" atau menyantol ke rumah kakaknya, Yani Sriwiyanti (38) yang memiliki kWh atau meteran listrik. Rumah Yani berjarak sekira 300 meter dari kediaman Deni. Tak cuma Deni, kakak Deni lainnya, Nita Agustina (28) dan kedua orangtua mereka, Tata (60) sert Anih (58) yang tinggal di Lengkob dengan rumah yang terpisah juga menyantol ke kediaman Yani.

"Kabel diparalelkeun (Kabel antar rumah saling bersambung)," kata Nita saat ditemui di kediamannya, Senin, 11 Desember 2023. Mereka memang tak punya pilihan lain untuk memperoleh listrik. Soalnya, tiang listrik tak menjangkau Lengkob yang lokasinya cukup terpencil. Kawasan itu dihuni sekira empat keluarga dan rumah. Tiga rumah diisi keluarga Tata dan Anih. Satu rumah lain dihuni Rukman (76) beserta anak dan istrinya.

Lengkob berada di sebuah‎ lembah kecil tepi sungai dengan naungan hutan pohon karet. Urusan mati lampu juga dirasakan Nita yang rumahnya berdekatan dengan tempat tinggal Deni. ‎"Si teteh nyedot cai, abdi didieu nyedot cai, sami ngajepret (Kalau kakak saya, Yani sedang menghidupkan mesin pompa air di rumahnya, saya juga sama di rumah saya, listrik lalu mati)," ucap Nita. Hal yang sama berlaku pula apabila Nita menyetrika dan kakaknya menyalakan mesin penyedot air.

Baca Juga: Pencarian Alfina Korban Tenggelam di Sungai Citarum Bandung Barat Dihentikan

Jika sudah begitu, kakak beradik itu kemudian berkomunikasi memberikan kesempatan siapa yang terlebih dulu menyelesaikan kepentingannya memakai listrik. Tentunya, urusan yang paling penting atau utama mendapat prioritas terlebih dahulu menggunakan setrum. Sementara yang kurang penting, mengalah.

Nita bukannya tak ingin memperoleh listrik resmi sebagaimana warga lainnya. Namun, keinginannya terganjal keharusan memiliki tiang dan kabel. Sang kakak misalnya pernah ditemui pihak RT RW yang tengah mengupayakan bantuan pemasangan kWh cuma-cuma. Warga dimintai kartu keluarga terkait pengajuan bantuan itu. Namun bagi warga yang bermukim di Lengkob, mesti ada tiang dan kabelnya. Nita mengaku berat membeli prasarana agar listrik mampir ke rumahnya tersebut jika mesti membeli. Pasalnya, biayanya pun terbilang mahal.

"Nya hoyong dibantos (Inginnya dibantu pemerintah)," ucapnya. Hal senada dikemukakan warga Lengkob lainnya, Rukman. Rukman saat ini "nyolok listrik" dari masjid di Lemahduhur. Ia merentangkan kabel dengan panjang sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya ke masjid yang memiliki kWh tersebut. Sebagaimana keluarga Nita, Rukman juga merasakan persoalan serupa: mati listrik. Keadaan itu juga terjadi apabila ada penggunaan listrik untuk keperluan lain, seperti penyedotan sumur bor yang menjadi sumber air warga.

Rukman memilih pasrah terkait bisa atau tidaknya ia memperoleh listrik dari pemerintah. Ia juga keberatan jika harus merogoh kocek demi pemasangan tiang dan kabel demi mengalirnya setrum. Apalagi, ia hanya seorang petani penggarap atau petani yang tak memiliki lahan sendiri. "Nya enya kena tuangeun (Yang tentu saja penghasilan mending dipakai untuk makan)," ujarnya.‎

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat