kievskiy.org

Makna di Balik Film Pengkhianatan G30S/PKI, Film Fiksi yang Sempat 'Wajib Tonton'

Materi promosi film Pengkhianatan G30S/PKI.
Materi promosi film Pengkhianatan G30S/PKI. /Dok. PPFN

 

PIKIRAN RAKYAT - Saban September sejak Orde Baru tumbang, narasi soal komunisme dan PKI menjelma jadi isu yang sangat seksi karena berada di alam ide dan bersentuhan dengan banyak kepentingan.
 
Pro dan kontra pun tidak terhindarkan. Salah satu rekaman sejarah yang kerap dikuliti adalah film Pengkhianatan G30S/PKI (1984).
 
Dalam tulisannya yang dimuat di Pikiran Rakyat pada 2017 lalu, Suwandi Sumartias yang kala itu merupakan Dosen Fikom Unpad menguraikan pandangannya tentang film Pengkhianatan G30S/PKI dari sudut pandang komunikasi politik.
 
Berikut ini pendapatnya. Kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca.
 
*** 
 
Film Pengkhianatan G30S/PKI saya tonton bukan karena ”wajib”, tetapi karena kehebohan di masyarakat sehingga membuat penasaran.
 
Kesimpulan film tersebut, sebagai film yang sarat dengan kepentingan penguasa di zamannya, tentu banyak kritik yang mengemuka sejak lama.
 
 
Bulan September pada era pascareformasi jadi teramat penting dengan munculnya pro-kontra keberada­an film Pengkhianatan G30S/PKI yang sejak 1998 ”tidak wajib tonton”. Kata ”wajib” ini yang menjadi kunci bahwa film ini sarat berbagai kepentingan politik penguasa.
 
Film sebagai karya seni, menampilkan genre yang sangat beragam. Setiap genre me­miliki makna atau cerita khas yang ingin disampaikan ke penonton/khalayak.
 
Film Pengkhianatan G30S/PKI, sebagai film semidokumenter dan fiksi, serta kental dengan muat­an propaganda politik penguasa, ”kurang berkesan dan atau menarik ” sebagai karya seni.
 
Alasan lainnya, kenapa film ini tidak lagi ”wajib tonton” antara lain karena jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998.
 
Keberatan lainnya, datang dari keberatan sejumlah tohok seperti Saleh Basarah, Yunus Yosfiah, dan Juwono Sudarsono karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa 30 September 1965.
 
 
Juwono meminta kepada para ahli sejarah agar meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting.
 
Tujuannya, supaya informasi yang didapat siswa lebih berimbang. Yunus Yosfiah mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengul­tusan tokoh seperti film Peng­khianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Se­rangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.
 
Selama 13 tahun terus-menerus film Pengkhianatan G30S/PKI jadi "wajib tonton" dan hal itu bukanlah waktu yang singkat.
 
Efeknya luar biasa. Khususnya efek negatif sosiologis dan psikis dalam masya­ra­kat. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah mun­culnya sikap permusuhan dan traumatis berkepanjangan di kalangan yang menjadi ”korban” kekerasan serta ”kejahatan politik” rezim penguasa kala itu.
 
 
Film merupakan media komunikasi yang sangat efektif dalam menyampaikan berbagai pesan de­ngan kelebihan visual dan penampilan tokoh-tokohnya.
 
Film ­sering menjadi media da­lam menyampaikan berbagai pesan baik yang konstruktif maupun destruktif, khususnya film-film kekerasan dan pornografi serta porno­aksi.
 
Budaya imitisi dan pengaruh negatif dari film tak diragukan lagi. Film Pengkhianatan G30S/PKI sebenarnya ditujukan untuk penonton dewasa (17 tahun ke atas). Namun, karena adanya "wajib tonton", film itu disaksikan tanpa ba­tasan usia.
 
Dibandingkan film-film jenis propaganda yang dibuat Amerika Serikat atau Eropa, film Pengkhianatan G30S/PKI tentu bukan tan­dingannya, baik kualitas gambar maupun isinya. Namun, sebagai karya seni, perlu diapresiasi sesuai situasi dan kon­teksnya.
 
Munculnya imbauan agar direvisi sesuai era milenial (era dgital) dan diputar ulang untuk pemahaman sejarah, rasa-rasanya berlebihan. Karena, film tesebut kurang mendidik dan sarat propaganda politik.
 
 
Kita sadar bahwa sejarah penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah siapa dan bagaimana sejarah dibuat atau disusun.
 
Film Pengkhianatan G30S/PKI bukanlah film sejarah, tetapi semidokumenter dan fiksi.
 
Seringkali film yang bernuansa sejarah atau dokumenter memerlukan kehati-­hatian l­uar biasa. Selain pemilihan narasumber yang valid dan kredibel, juga saksi-saksi sejarah atau sumber dokumen kunci menjadi parsyarat yang utama dan penting.
 
Nilai manfaat, kejernihan berpikir, dan olah rasa dari elite negara dan masyarakat terhadap film ini sangat diperlukan.
 
Kalaulah kita ingin berdamai (islah) dengan masa lalu, bu­kan berarti ”melupakan” atau mencari-cari ”dosa-dosa” masa lalu apalagi saling mengkla­im kebenaran versi kelompoknya secara arogan.
 
Untuk kasus film Pengkhianatan G30S/PKI, sebenarnya para sejarawan Indonesia yang memiliki fakta yang relatif komprehensif dan berimbang sudah berulang-kali memuat lengkap kisah-kisah seputar 1965 dan sebelumnya.
 
Jika kita menyimak tulis­an para sejarawan tersebut, tentu informasinya jadi lebih lengkap dan memadai. Sayangnya, da­lam film tersebut, substansinya masih meng­undang pro-kontra (mengalami kooptasi dan distorsi).
 
Makna dan pelajaran berharga dari film jenis apa pun selalu berada di benak para penonton atau ma­syarakat luas. Proses pemaknaan melahirkan multitafsir pada teks (film, buku, media massa) yang dipenuhi tanda dan simbol yang memberi pesan sangat bera­gam.
 
Sehingga, muncullah berbagai kajian men­arik tentang dunia tanda dan bahasa melalui semiotika dan atau discourse analysis.
 
Umberto Eco secara semiotika dan Edmud Husserl secara hermeneutika menjelaskan dengan detail betapa penting­nya interpretasi dialektis terhadap makna teks, simbol, atau tanda.
 
Makna dan interpretasi se­sungguhnya berada di benak para penonton, bukan pe­ngarang atau sutradara.
 
Menurut Harold D Las­well dalam Propaganda Technique in the World War, propaganda dalam arti luas diartikan sebagai teknik memengaruhi tindakan manusia dengan cara memanipulasi atau melakukan re­presentasi.
 
Representasi itu bisa melalui ujaran, tulisan, gambar, atau bentuk-bentuk musikal. Begitu halnya dengan film Pengkhianatan G30S/PKI.
 
Bahkan, melalui The Death of Author karya Roland Barthes atau Author is Died kata Paul Ricoeur dkk., da­lam filsafat hermeneutika, makna berada dalam diri manusia pembaca atau penonton sesuai pengalaman dan referensinya.***
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat