kievskiy.org

Ketua Eksil Sebut Rakyat Tibet Bisa 'Mati Perlahan' di Bawah Rezim China

Seorang pria Tibet bereaksi saat ditahan polisi saat mengikuti aksi protes menentang Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 di New Delhi, India, Jumat, 4 Februari 2022.
Seorang pria Tibet bereaksi saat ditahan polisi saat mengikuti aksi protes menentang Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 di New Delhi, India, Jumat, 4 Februari 2022. /REUTERS/Anushree Fadnavis

PIKIRAN RAKYAT - Pemimpin otoritas Tibet dalam pengasingan yang berbasis di India pada Kamis menyatakan kepada Kongres Amerika Serikat bahwa Tibet "mati perlahan" di bawah rezim China.

Beberapa aktivis Tibet menyayangkan apa yang mereka anggap sebagai meredupnya fokus komunitas internasional terhadap dugaan pelanggaran di Tibet di tengah meningkatnya kekhawatiran Washington dan negara-negara Barat terhadap tekanan China atas Taiwan, masalah Hong Kong, dan nasib kelompok minoritas di daerah Xinjiang.

"Jika PRC (Republik Rakyat China) tidak dipaksa untuk membatalkan atau mengubah kebijakannya sekarang, Tibet dan rakyat Tibet akan mati perlahan," kata Penpa Tsering, pemimpin organisasi Pemerintahan Tibet Pusat (CTA), dalam rapat dengar pendapat Komisi Eksekutif Kongres tentang China via telekonferensi.

Baca Juga: Info Mudik Gratis: Polri Sediakan 500 Bus, Jadwal Berangkat 18-19 April 2023

Jabatan pemimpin CTA, yang disebut Sikyong, dibentuk tahun 2012 setelah Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet yang sudah berusia 87 tahun, melepaskan wewenang politiknya kepada organisasi yang akan dapat melanjutkannya setelah ia meninggal.

Seorang sumber internal kongres menyatakan dalam dengar pendapat tersebut untuk pertama kalinya seorang Sikyong berbicara kepada Kongres AS, dan hal tersebut bisa memicu kemarahan China.

Beijing menuding Dalai Lama memantik gerakan separatisme di Tibet dan menolak mengakui CTA, yang mewakili sekitar 100 ribu eksil Tibet yang tersebar di sekitar 30 negara, seperti India, Nepal, Kanada, dan AS.

Baca Juga: Jokowi Beri Sinyal Reshuffle Kabinet Indonesia Maju

China menguasai Tibet sejak 1951 setelah mengerahkan militernya ke daerah tersebut untuk melancarkan apa yang mereka sebut "pembebasan damai".

China membantah melakukan pelanggaran apapun di Tibet dan menyebut intervensi tersebut berhasil mengakhiri "perbudakan feodal yang terbelakang" di daerah itu.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat