kievskiy.org

Parlemen Belanda: Masyarakat Indonesia Mengalami Kekerasan Ekstrem dengan Penyiksaan dan Pemerkosaan

Ilustrasi tentara Belanda.
Ilustrasi tentara Belanda. /Pixabay/FrankMagdelyns

PIKIRAN RAKYAT – Pada debat tentang program penelitian ‘Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia 1954-1950’ pada Rabu, 14 Juni 2023, parlemen Belanda membeberkan kejahatan negara tersebut yang menjajah Indonesia selama bertahun-tahun. Hal itu membuat Perdana Menteri (PM) Mark Rutte meminta maaf dan menyampaikan bahwa Kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus 1945.

Sebelumnya, pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Dalam debat parlemen itu dihadiri oleh anggota parlemen dan peneliti sejarah yang sudah melakukan penelitian kurang lebih lima tahun.

Debat berlangsung sangat alot, sejumlah anggota parlemen menyetujui pemerintah Belanda untuk meminta maaf. Namun parlemen lainnya ada pula yang tak mengakui kekerasan ekstrem tersebut.

“Kekerasan ekstrem, termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembakaran desa. Kekerasan ekstrem, sistematis, dan meluas: yang menjadi ciri tindakan angkatan bersenjata Belanda pada periode 1945 hingga 1949 di Indonesia,” ujar salah satu anggota parlemen, dikutip dari transkrip debat tersebut.

Baca Juga: WSBK Mandalika Berpotensi Dicoret, Gubernur NTB Sebut MotoGP Indonesia Juga Terancam

Bahkan anggota parlemen menyebut jika kekerasan ekstrem tersebut bukan lagi rahasia pemerintah, dan sudah diketahui banyak orang. Tak dimungkiri bahwa sejarah hitam Belanda itu dikaburkan oleh pemerintah.

“Itu bukan rahasia. Sebagian besar dari mereka yang bertanggung jawab di pihak Belanda, politisi, pejabat, pegawai negeri, hakim, mengetahui hal ini,” kata anggota parlemen.

Mirisnya lagi, fakta kelam tersebut justru dikaburkan oleh beberapa pihak selama beberapa dekade. Pelaku kekerasan pun tak dihukum sama sekali, dan mendapat perlindungan di bawah Undang-Undang.

“Selama dan sesudahnya, sifat sebenarnya dari perang ini telah dikaburkan, didistorsi, dan diminimalkan dalam eufemisme, 'tindakan polisi', selama beberapa dekade. Pada saat yang sama, pelaku sebenarnya tidak atau hampir tidak pernah dihukum. Bahkan, budaya impunitas itu diubah menjadi undang-undang, yang disebut Statuta Pembatasan,” kata anggota parlemen.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat