kievskiy.org

Kisah Penderitaan Warga Gaza: Berjuang untuk Hidup di Tengah Perang dan Kekurangan

Seorang anak Palestina dan orang-orang berkumpul untuk mendapatkan makanan di Rafah, di selatan Jalur Gaza, Palestina, 2 Desember 2023.
Seorang anak Palestina dan orang-orang berkumpul untuk mendapatkan makanan di Rafah, di selatan Jalur Gaza, Palestina, 2 Desember 2023. /REUTERS/Ibrahim Abu Mustafa

PIKIRAN RAKYAT - Situasi krisis di Gaza semakin memprihatinkan, terutama bagi warga seperti keluarga Abu Jarad yang harus berjuang keras untuk mencari makanan dan air guna bertahan hidup.

Awalnya tinggal di rumah yang nyaman di Gaza utara bersama sembilan anggota keluarganya, kini mereka terdampar di sudut Gaza bagian selatan, tinggal di tenda kecil di atas lahan berpasir yang dipenuhi sampah.

Dampak perang Israel-Hamas selama tiga bulan telah membuat keluarga Abu Jarad, bersama dengan warga lainnya, menjadi pengungsi.

Awatif Abu Jarad, salah satu anggota keluarga, mengungkapkan bahwa setiap anggota keluarga turun tangan dalam tugas sehari-hari, mulai dari mengumpulkan ranting hingga menjelajahi pasar kota untuk mencari sayuran.

Namun, usaha mereka yang maksimal belum mampu menutupi keputusasaan yang mereka rasakan. Mereka harus berjuang setiap hari untuk mendapatkan makanan, air, obat-obatan, dan bahkan akses ke kamar mandi yang berfungsi. Keadaan ini semakin diperparah oleh ketakutan akan serangan udara Israel dan meningkatnya ancaman penyakit.

Pengeboman dan invasi darat Israel ke Gaza, yang telah berlangsung selama 13 minggu, memaksa hampir seluruh warga Palestina bergerak menuju kota selatan Rafah di sepanjang perbatasan Mesir. Populasi Rafah yang semula sekitar 280.000 jiwa kini melonjak menjadi lebih dari 1 juta jiwa dalam beberapa hari terakhir, menurut badan PBB untuk pengungsi Palestina.

Banyak orang tinggal di apartemen yang penuh sesak, sementara ribuan tenda nilon bermunculan di sebelah barat kota. Beberapa bahkan harus tidur di lantai berlapis nilon untuk menghemat ruang. Nouman, saudara laki-laki Awatif, bersama keluarganya, tidur di tenda yang mereka beli dengan harga 276 dolar AS atau sekitar Rp 4,2 juta.

Di tengah kondisi perekonomian yang dipacu oleh perang di Rafah, harga tenda keluarga yang lebih besar kini berkisar antara 800 dolar AS hingga 1.400 dolar AS. Pagi-pagi, mereka mulai dengan memasak makanan, dan kemudian mencari air untuk mencuci.

Awatif dan keluarganya harus mengumpulkan air dari pipa umum di dekatnya, meski air tersebut hanya dapat digunakan untuk mencuci karena tidak layak untuk diminum. Mereka juga harus mengantri berjam-jam di salah satu tanker air minum untuk mendapatkan air bersih dengan harga satu shekel per galon.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat