kievskiy.org

Menilik Penyebab Tingginya Angka PHK Industri Padat Karya di Jawa Barat

Ilustrasi PHK.
Ilustrasi PHK. /Pixabay/geralt

PIKIRAN RAKYAT –  Potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya di Jawa Barat kian nyata.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Taufik Garsadi mengatakan angka PHK industri yang meliputi sebagian besar perusahaan tekstil itu terpantau tinggi di Jawa Barat.

Berdasarkan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber dan stakeholder, sebanyak 4.155 orang tengah menghadapi perselisihan hubungan industri di kabupaten/kota.

Kemudian diperkirakan ada 47.539 orang yang akan terkena PHK hingga Agustus 2022 berdasarkan dara dari BWI-ILO.

Lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ada 79.316 orang terkena PHK dari awal pandemi hingga Agustus 2022.

Baca Juga: Badai PHK Massal Mengintai Industri di Jawa Barat, Disnakertrans Siapkan Langkah Mitigasi

Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga mencatat ada 146.443 orang yang menghentikan keanggotaannya lantaran PHK, kontrak kerja berakhir, mengundurkan diri hingga sebab lainnya.

Taufik menyebut data PHK industri padat karya yang dihimpun itu ditengarai lebih tinggi dari data terlaporkan.

"Jadi data PHK yang tidak terlaporkan baik melalui dinas, Apindo, Serikat Pekerja, BWI maupun pekerja yang tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan tidak mengklaim Jaminan Hari Tua atau JHT, jumlahnya bisa lebih besar lagi," kata Taufik Garsadi di Bandung, Selasa, , dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara.

Menurut Taufik, fenomena ini memicu data tingkat pengangguran terbuka di Jawa barat menjadi tinggi dan PHK massal di industri padat karya.

Baca Juga: 43.000 Karyawan Kena Gelombang PHK di Jabar per September 2022

Berdasarkan penelusuran dan penelaahan Disnakertrans Jawa Barat, ada sejumlah faktor yang memicu kondisi tersebut terjadi., yakni eksternal dan internal.

Dari faktor exsterna antara lain hantaman pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir, ditambah terjadi perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan adanya pengurangan permintaan produk padat karya, dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

Sementara dari faktor internal pemerintahan, faktor kenaikan UMK di sejumlah kabupaten/kota di Jabar yang terlalu tinggi kian memberatkan pengusaha di sektor tersebut sehingga tidak bisa membayarkan kewajibannya secara merata.

Selain itu, terjadi perubahan metode kerja dan alih daya teknologi di sejumlah industri. Hal tersebut membuat perusahaan menurunkan kebutuhan sumber daya manusia.

"Dari sisi internal perusahaan terjadi pula kesalahan pengelolaan bisnis dan peningkatan biaya produksi," katanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat