kievskiy.org

Untuk Maneh, Urang, dan Sararea: Dulu Bahasa Sunda Egaliter

Seorang siswa menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) bahasa Sunda di Jalan Caringin, Kota Bandung, Kamis (16/3/2023). Bahasa Sunda rentan punah jika generasi mudanya enggan menggunakannya karena lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.
Seorang siswa menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) bahasa Sunda di Jalan Caringin, Kota Bandung, Kamis (16/3/2023). Bahasa Sunda rentan punah jika generasi mudanya enggan menggunakannya karena lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. /Pikiran Rakyat/Kholid

PIKIRAN RAKYAT - Salah satu kata yang kerap dinilai kasar dalam bahasa Sunda itu adalah aing. Kata aing dalam Bahasa Indonesia memiliki arti ‘saya, aku’. Meski begitu, hal tersebut tak seluruhnya berlaku di wilayah luar Jabar yang sejumlah warganya berbahasa Sunda.

Di wilayah Provinsi Banten misalnya, kata aing dipakai dalam bahasa pergaulan sesama anak mudanya. "(Pemakaian kata) aing itu hal lumrah untuk seumuran, apalagi di kalangan mahasiswa di sini," kata Ahmad Khudori, 23 tahun, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten saat dihubungi, Kamis, 16 Maret 2023.

Khudori juga mencontohkan pemakaian bahasa Sunda di Kota Serang yang lebih egaliter atau cenderung tak mengenal undak-usuk basa. "Yang muda yang lebih tua menganggap bahasa (Sunda) lebih egaliter, hilang konteks kasar dan halusnya. Kata maneh atau kamu pun yang terkadang dianggap kasar atau tak pantas justru menjadi tanda kasih sayang dari orangtua ke anak, teman ke teman. "Biasanya, ‘maneh’ itu (dipakai) menegur," ujarnya.

Baca Juga: 8 Kode Etik Guru, Belajar dari Kasus Komentar Guru SMK di Cirebon di IG Ridwan Kamil

Apabila ditelusuri dalam naskah atau teks Sunda kuno, kata-kata dalam bahasa Sunda yang kini dianggap kasar justru biasa saja dipakai orang-orang tempo dulu.

Cerita/kisah Bujangga Manik, umpamanya, bertabur kata-kata aing dan sia (kamu). Teks Sunda kuno yang ditaksir di buat abad ke-15 atau awal abad ke-16 itu tak memperlihatkan adanya tingkatan-tingkatan bahasa.

Cap durhaka

Kata “aing”, contohnya, justru dipakai Bujangga Manik ketika berbicara dengan ibu nya. Padahal, lokasi mereka bercakap itu berada di ling kungan Istana Pakuan dan status Bujangga Manik ada lah tohaan atau pangeran di istana tersebut. Apabila anak sekarang menyebut aing kala berpamitan kepada ibunya, ia pasti dicap tak sopan dan durhaka.

"Aing dek leu(m)pang kawetan (Ananda kan pergi ke arah Timur)," demikian ucap an Bujangga Manik berpamitan ke ibunya di Istana Pakuan saat akan melakukan perjalanan ke timur dalam buku, Tiga Pesona Sunda Kuna karya J Noorduyn dan A Teeuw.

Baca Juga: Guru Pengkritik Ridwan Kamil Tak Jadi Masuk Daftar Hitam, Disdik Jabar Pastikan Sabil Bisa Kembali Mengajar

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat