PIKIRAN RAKYAT - Tanggal 22 Oktober tahun 2021 kita bangsa Indonesia akan memperingari "Hari Santri Nasional" (HSN) tahun ke enam sejak ditetapkan dalam lembaran negara, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 tahun 2015 tentang "Hari Santri Nasional" dengan tema besar tahun 2021 "Santri Siaga Jiwa Raga".
Inilah tangga kemenangan perjuangan politik santri dalam relasi politik negara, diikuti pengesahan Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan Peraturan Presiden (Perpers) No.83 tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Sebuah bentuk pengakuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terhadap eksistensi tradisi pesantren dalam khazanah pendidikan Islam di Indonesia.
Terma santri dan pesantren; pendekatan definisi
Definisi santri tidak sesederhana hanya diartikan secara artifisial dan lahiriyah sebagai kelompok sosial berpakaian sarung dan berpeci hitam. Kajian antropologis dan ilmu-ilmu sosial politik di Indonesia mendefinisikan "santri" minimal dua kelompok sosial secara kategoris.
Baca Juga: Lecehkan Belasan Santri, Guru Tersangka Pedofilia di Ponpes Ogan Ilir Sumsel Diamankan
Pertama, Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya yang diadaptasi dari disertasi doktoralnya (1982) dengan judul "Tradisi Pesanren: Studi Pandangan Hidup Kiai", mendefinisikan santri sebagai salah satu elemen dari lima elemen dasar pesantren, yakni kiai, santri, pondok, masjid dan kitab kuning.
Dalam pengertian ini santri adalah kelompok sosial yang (pernah) nyantri di pondok pesantren berbasis pengajaran kitab kuning. Bukan peserta didik yang sekedar diasramakan atau ‘Boarding School’ secara modern.
Kedua, Clifford Geezt dalam bukunya "The Religion of Java" (1956) mengkonstruksi tiga kelompok varian sosial pemilih, yakni priyayi, santri dan abangan. Santri di sini adalah komunitas sosial penggerak dan pemilih loyal partai-partai berbasis Islam.
Baca Juga: Dinilai Olok-olok Santri, Deddy Corbuzier Minta Maaf: Saya Bodoh Banget