kievskiy.org

Memperdebatkan Gizi Bangsa

Cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno/DOK. PR
Cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno/DOK. PR

IBARAT kompetisi dua master chef, debat calon wakil presiden (cawapres) Ahad 17 Maret malam menjadi momen penting untuk menyuguhkan menu andalan. Itulah ajang debat ketiga dalam Pilpres 2019 yang hanya diikuti kedua cawapres.

Bagi keduanya, debat akan menjadi debut sekaligus ajang final karena tidak ada kesempatan kedua untuk menampilkan sosok cawapres secara utuh dan lepas dari bayang-bayang capres.

Sosok cawapres menunjukan ciri-ciri kontras dilihat dari usia, latar belakang, maupun passion dalam hidupnya.

Perbedaan-perbedaan tadi terlihat dalam standing position dalam membaca persoalan, rumusan kebijakan strategis, dan desain peta jalan pembangunan manusia 20 atau 30 tahun yang akan datang.

Berbeda dengan tema debat kedua yang lebih menekankan kepada aspek-aspek yang menjadi “ruang hidup” warga, debat ketiga lebih merupakan “gizi” yang menentukan kualitas dan marwah bangsa hari ini dan masa yang akan datang.

Karena itu, meski hanya diikuti cawapres, debat ketiga tidak kalah penting dibanding dua debat yang sudah lalu dan yang akan datang. Siapa pun—tak peduli laki-laki atau perempuan, lahir dari keluarga kaya  atau miskin, dibesarkan dalam asuhan orang-orang terpelajar atau buta huruf–membutuhkan pekerjaan untuk merengkuh kehidupan yang layak, mendambakan layanan kesehatan untuk hidup sehat dan bebas dari penyakit, memerlukan pendidikan untuk menguasai segala kecakapan yang tidak dibawa sejak lahir, mensyaratkan jaminan dan pelayanan sosial agar bisa hidup wajar sebagai manusia normal, dan membutuhkan dukungan institusi budaya agar menjadi manusia yang beradab (civilized), sekaligus menguasai perangkat yang memungkinkannya dapat beradaptasi dan bertahan hidup.

Jika dimaknai lebih dalam, ruh tema debat ketiga adalah pendidikan. Pendidikan adalah kompas bagi pencari kerja.

Pendidikan adalah rujukan hidup dan perilaku sehat. Pendidikan adalah alat mobilitas sosial yang handal. Pendidikan pun terapi budaya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat