kievskiy.org

Radikalisme Islam di Indonesia; Mencari Akar Masalahnya Pasca-Orde Baru

Ilustrasi.
Ilustrasi. /Pixabay/qimono

PIKIRAN RAKYAT - Pada akhir 2020 yang lalu, ‘kado’ dibubarkannya FPI oleh pemerintah dan 6 (enam) kematian laskarnya, betul-betul menjadi trending topic di media  sosial. Seolah mengalahkan isu nasional—atau sengaja dialihkan oleh pemerintah—kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Beritanya hilang, walau kita tentu berharap kasusnya tetap diproses—tidak seperti kasus Harun Masiku yang hilang bak ditelan bumi—karena kasus maling uang rakyat Juliari Batubara pada dana bantuan untuk masyarakat yang terempas krisis ekonomi akibat pandemi jelas merupakan kejahatan level tertinggi. Pelakunya tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga mengancam hidup banyak orang.

Seperti yang pernah saya tulis, penyidikan sementara Juliari telah memungut sedikitnya Rp. 10 ribu dari setiap kemasan bantuan sosial korban pandemi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Tapi kuat dugaan, maling uang rakyat oleh Juliari sebenarnya lebih dahsyat.

Baca Juga: Beri Arahan pada 20 Pemuda yang Terpapar Doktrin NII, Ridwan Kamil: Pancasila Kesepakatan yang Agung

Majalah Tempo memberitakan bahwa anggaran pemerintah untuk proyek bansos sekitar Rp300.000 per kemasan untuk 21,6 juta kemasan yang dibagikan dalam 12 gelombang. Artinya, total nilai uang yang dirampok Menteri Sosial mencapai setidaknya Rp21 miliar. Ada kesaksian yang menyebutkan nama sejumlah elite PDIP yang menitipkan perusahaan tertentu agar mendapat jatah proyek. KPK harus menelusuri semua petunjuk itu. Bagi banyak orang, kejahatan semacam itu mungkin tidak terbayangkan—yang pasti menyakiti hati rakyat kecil—yang konon menjadi jargon PDIP, partainya wong cilik.

Kembali ke persoalan FPI, pada versi pemerintah dianggap sebagai ormas keagaamaan radikal—seperti juga HTI dulu—yang dianggap membahayakan negara, dengan paling tidak 6 (enam) pertimbangan; Pertama, ormas konsensus menjaga keutuhan negara; Kedua, Anggaran Dasar yang tidak boleh bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang ormas; Ketiga, SKT sebagai ormas sesuai keputusan Mendagri No. 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014; Keempat, Ormas tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal yang tercantum pada UU Ormas: Kelima, pengurus/anggota berdasarkan data terlibat tindak pidana terorisme; dan Keenam, terjadi pelanggaran ketentuan hukum oleh pengurus dan atau anggotanya yang kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat. 

Baca Juga: BNPT: Tokoh Agama Itu Jadi Pintu Masuk Sekaligus Potensial Menjadi Pintu Keluar Radikalisme dan Terorisme

Radikalisme dan indikatornya

Sejarah telah mencatat, bagaimana track record Islam dalam mewujudkan perdamaian dalam realitas. Pada awal kemunculan Islam di bawah panji-panji kepemimpinan Nabi Muhammad SAW., Islam berhasil meredam perang antarsuku dan golongan di jazirah Arab. Masa itu adalah masa yang paling ideal dalam sejarah ummat Islam, karena ketika itu Nabi Muhammad SAW.,--yang merupakan refresentasi dari Islam itu sendiri—masih mendampingi para ummatnya sehingga Islam bisa berkaku secara efektif. 

Islam yang dulunya menjadi pemersatu, belakangan dipandang sebagai penebar teror—bahkan di beberapa negara Barat dan AS—muncul Islamophobia, Perancis bahkan sebagai negara liberal secara terang-terangan membuat kartun ‘penghinaan kepada Nabi’ sebagai bentuk ekspresi kebebasan. Terlepas dari berbagai motif yang dilakukan para pelaku kekerasan dan radikalisme, stigma negatif pada Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin akibat berbagai tindakan kekerasan itu cukup membuat resah masyarakat muslim. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat