kievskiy.org

IKN Suatu Pemerosotan Demokrasi

Pradesain Istana Negara di ibu kota baru Indonesia.
Pradesain Istana Negara di ibu kota baru Indonesia. /Instagram/@jokowi Instagram/@jokowi

PIKIRAN RAKYAT - Pada 18 Januari 2022, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) dengan nama Ibu Kota Nusantara. Kontroversi mengemuka, di antaranya mengenai status otorita yang dikonsepkan berbeda dengan status Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
 
Sehubungan dengan hal itu, Inna Junaenah, Dosen Departemen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Unpad, memaparkan pandangannya dalam tulisan yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 28 Januari 2022 berikut ini. Kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca.
 
***
 
Seperti biasa, Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 menjadi legitimasi utama dalam pembentukan suatu satuan pemerintahan, apalagi untuk pembentukan daerah baru.
 
Asas otonomi daerah di dalamnya mengusung konsep demokratisasi yang diarah­kan terimplementasi di tingkat lokal.
 
Sebagai penambahan khazanah, dapat ditunjukkan reduksi demokrasi dari perubahan Pasal 18 UUD 1945 pada konsep otorita pemerintahan IKN.
 
 
 
Penyebutan RUU masih ber­laku sepanjang belum diundangkan di lembaran negara. Oleh karena itu, meski proses pembentukannya disetujui DPR, jika pada saat tulisan ini dimuat sudah diundangkan, penye­butan RUU menjadi dibaca sebagai undang-undang.
 
Konstitusionalitas
 
Dari naskah akademik dan naskah undang-undang yang akan segera di­sahkan, konsep umum pilih­an status otorita pada peme­rintahan khusus IKN, didalilkan konsep otorita sebagai salah satu bentuk dari status kawasan khusus.
 
Penyusun naskah akade­mik mencampur­kan nomenklatur ”otorita” dengan ”ka­wa­san untuk kepentingan nasional lainnya” dari Pasal 360 ayat (2) huruf m dan n Undang-Undang Nomor 23/­2014 tentang Pemerintahan Daerah.
 
Padahal, Robert Na Endi Jaweng, narasumber yang di­minta pandangannya da­la­m proses pembahasan pada 12 Desember 2021, telah meng­ingatkan tentang absennya konstitusionalitas kedudukan otorita.
 
 
Meski demikian, dengan posisi hu­kum tersebut, Endi Ja­weng termasuk sosok yang mendorong pembentukan Undang-Undang IKN yang solid.
 
Selain itu, ketentuan umum RUU mendefinisikan Pemerintahan Daerah Khu­sus Ibu Kota Nusantara sebagai pemerintahan daerah yang bersifat khusus, yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Ibu Kota Nusantara.
 
Dengan legitimasi Pasal 18 (1), di antara kekhususan dalam RUU IKN yaitu menjalankan fungsi pemerintah­an daerah khusus dan kewenangan membentuk peratur­an untuk penyelenggaraannya.
 
Demokrasi?
 
Pokok pikiran tersebut mereduksi semangat demo­kratisasi atas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah karena samar­nya konsep desentralisasi dengan dekonsentrasi.
 
Akan tetapi, Undang-Undang Pemda telah mencampuradukkan konsep instrumen pengaturan status kawasan khusus, serupa oto­rita, yang lebih cenderung bersifat sentralistis.
 
Walakin, RUU ini hanya menyebut dua pasal dari Pasal 18, yaitu Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1). Padahal, politik hukum yang digagas oleh Bagir Ma­nan sebagai salah satu ahli pada perumusan perubahan UUD 1945, meng­hendaki amandemen Pasal 18 sebagai satu kesatuan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di antaranya, meng­hendaki peng­isian kepala daerah secara demokratis.
 
Pengajuan status otorita dimaksudkan untuk mengecualikan wilayah administratif tertentu dari daerah otonomi provinsi, untuk menyelenggarakan urusan yang spesifik.
 
Oleh karena itu, deskripsi mengenai pemerosotan de­mo­krasi dengan sengaja dilakukan terhadap status ke­lembagaan IKN, yang telah turut terkondisikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
 
Selain itu, status otorita dengan Pemda Khusus IKN adalah konsep yang kontra­diktif. IKN hendak meng­usung otokrasi dalam bingkai yang seolah-olah desentrali­sasi.
 
Sudah menjadi penerimaan umum bahwa Pasal 18 ayat (1) mengenal pembagian daerah dengan asas otonomi daerah, termasuk jika ke­mungkinan pada daerah khu­sus, daerah istimewa, dan otonomi khusus. Daerah-dae­rah yang telah diberi kekhu­susan seperti ini tetap menghadirkan lembaga demokrasi.
 
Seperti DKI Jakarta, wa­lau dengan kekhususan menyelenggarakan dekonsentrasi lebih besar daripada urusan otonomi daerah, tetapi gubernur dan DPRD-nya tetap menjadi lembaga yang dipilih oleh rakyat.
 
Hal yang dikhawatirkan adalah bahwa tanpa lembaga demokrasi (kepala daerah dan DPRD), peme­rintahan daerah otorita ber­wenang membentuk per­atur­an. Pola yang terjadi ada­lah legitimasi kewenang­an untuk mengatur secara otokratis.
 
Kalau lantas bab tentang partisipasi masyarakat di dalam Pasal 37 RUU ini dibiarkan mengambang hanya sebatas template suatu peraturan, untuk ditafsirkan oleh otoritas organisasi IKN, sulit berharap banyak untuk jaminan partisipasi masyarakat yang terdampak, termasuk di area ring 1, atau masyarakat di kabupaten yang berba­tasan dengan wilayah IKN.
 
Artinya, konsep IKN memilih landasan otonomi daerah minus demokrasi, apalagi jaminan partisipasi masyarakat. Lebih parah lagi, terdapat delegasi kewenang­an dengan enam peraturan pemerintah, dan tujuh mandat blanko pada peraturan presiden.
 
Materi utama dalam delegasi kewenangan tersebut di antaranya menyang­kut pertanggungjawaban APBN dan pengaturan sendiri pengelolaan ba­rang milik negara.
 
Selain itu, materi kewenangannya bersifat strategis, terutama pada rencana induk, organisasi, tugas, wewenang, tata kerja, pembagian wilayah, rencana tata ruang, pemindahan ASN, dan kantor perwakilan diplomatik.
 
Seharusnya, konsep kelembagaan IKN perlu dirancang ulang jika beriktikad dan seharusnya demokratis, karena substansi ibu kota negara merupakan materi muatan ketatanegaraan, tidak saja tentang pilihan kebijakan administrasi.
 
Jika motif pembentukannya adalah otokra­tis, bahkan eksklusif, di sanalah letak anomali dari pembenaran menggunakan Pasal 18 UUD 1945.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat