kievskiy.org

Prof Dr H Khaerul Wahidin, M.Ag; Rektor Universitas Muhammadiyah yang Berspirit NU

Prof Khaerul Wahidin, Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon yang telah tutup usia.
Prof Khaerul Wahidin, Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon yang telah tutup usia. /IAIN Syekh Nurjati Cirebon IAIN Syekh Nurjati Cirebon

PIKIRAN RAKYAT - Meninggalnya Prof. Dr. H. Khaerul Wahidin, M. Ag., salah satu guru besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) sekaligus Pembina Yayasan Akmala Sabila, sungguh sangat mengagetkan. Pertemuan terakhir dengan penulis terjadi ketika selesai mengampu mata kuliah di Prodi Aqidah Filsafat Islam di depan gedung fakultas, seperti biasa penulis mengucapkan salam dan mencium tangan beliau. Sambil tersenyum Profesor menjawab lalu mengatakan; “Priben, Mas, sehat? Keluarga ning umah sehat kabeh?”. (Bagaimana, Mas, sehat? keluarga di rumah sehat semua?). Lalu saya jawab, dan beliau melanjutkan untuk mengampu mata kuliah bertemu dengan mahasiswanya.

Penulis melihat beliau masih sehat dan tetap penuh kebersemangatan untuk berbagi ilmu dengan mahasiswanya. Memang berita yang kami dengar sebelum meninggal, beliau masih memberikan materi di pengajian dan berkumpul bersama keluarga. (Saat) Magrib, masih menjadi imam salat berjemaah dan bakda Isya dilanjutkan dengan ‘ngawuruk’ santri sampai pukul 21.00 WIB, tapi kemudian merasa sesak nafas dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Ciremai Cirebon. Seperti ada firasat bahwa beliau akan ‘mangkat’ untuk selamanya, dalam salah satu ceramahnya, beliau membahas tentang kematian; kematian yang tanpa didahului dengan sakit sambil berharap pulang ke hadirat Allah dalam keadaan khusnul khatimah.

Beliau kembali ke hadirat Allah SWT untuk selamanya, tanpa didahului sakit yang berkepanjangan, pada Ahad 22 Januari 2023 pukul 21.00 WIB., innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiun.

Kematian; Hal yang Pasti

Baca Juga: Ketua Muhammadiyah Kritisi Kebijakan Impor Beras, Pertanyakan Data Kemendag, Bulog, dan BPS

Penyakit yang diderita seseorang adalah wasilah saja untuk menjemput kematian karena banyak juga yang meninggal tanpa disebabkan karena sakit. Kematian adalah konsekuensi logis dari “kullu nafsin dzaiqat al-maut”, karena kita bernyawa, dalam bahasa Ariel Noah dalam syair lagunya, “Tak ada yang abadi”. Kata Nabi Isa, “Kematian itu ibarat pintu, siapapun akan memasukinya”. Tidak ada yang hidup selamanya, seperti diilustrasikan oleh Chairil Anwar “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, yang dalam Al-Qur'an disebutnya dengan “Ya waddu ahadukum law yuammaru alfa sanatin”.

Kematian adalah sebuah misteri yang siapapun tidak tahu, kapan dan di mana akan dikuburkan, Allah yang memiliki hak prerogatif. Di akhir ayat surat Lukman, disebutkan ada lima hak istimewa Tuhan yang tidak bisa diintervensi manusia; Pertama, masalah kiamat; Kedua, persoalan hujan; Ketiga, apa yang ada dalam rahim perempuan; Keempat, apa yang terjadi di esok hari, dan Kelima, di bumi mana kita akan dikuburkan. (Innallaha indahu ilmus sa’ah wayunazzilul ghaitsa wa ya’lamu ma fil arham wama tadri nafsun madza taksibu gada wa tadri nafsu bi ayyi ardhin tamutu innallaha ‘alimun khabir)

Karena kematian adalah sebuah kepastian, maka pertanyaan tentang kapan kita akan meninggal adalah sesuatu yang tidak penting. Sebaliknya yang harus kita pertanyakan adalah, “Siapkah kita menghadapi kematian itu?”. Menghadapi kehidupan sesudah kematian yang abadi, yang secara logika juga sangat rasional, semua akan dimintai pertanggungjawabannya.

Kita pasti pulang, yang oleh Nurchalish Madjid dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan go home, bukan go house, dan pulang yang sejatinya adalah ketika kita innaa lillahi wa innaa ilahi raajiun, kembali kepada sang pemilik sejati, Allah SWT. Kita adalah milik Allah, dan kepemilikan itu sewaktu-waktu akan diambilnya.

Baca Juga: Demo Kepala Desa dan Hasrat Mempertahankan Kekuasaan

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat