kievskiy.org

Jelang Pilpres 2024, Capres Perlu Pilih Cawapres yang Mampu Jadi Penasihat

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Arif Firmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Setahun jelang Pilpres 2024, persaingan antarpara calon Presiden (capres) potensial masih ketat. Mengacu pada berbagai hasil survei elektabilitas terhadap tiga figur potensial  yakni Anies Baswedan yang didukung oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Prabowo Subianto yang didukung oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), serta Ganjar Pranowo yang didukung PDIP, tidak ada satu pun yang unggul secara dominan.

Dalam situasi seperti ini, penentuan calon Wakil Presiden (cawapres) menjadi salah satu variabel penting yang dapat berkontribusi dalam pemenangan Pilpres 2024. Bagaimanakah format ideal penentuan cawapres? Salah satu formula yang lazim digunakan adalah memilih cawapres yang menyeimbangkan tiket (ticket balancing) dalam pemilihan.

Cawapres dipilih untuk melengkapi kekurangan atau kelemahan dari capres dengan mempertimbangkan serangkaian aspek keseimbangan (Siegelman dan Wahlbeck, 1997), dengan tujuan memperluas basis dukungan elektoral. Berdasarkan pengalaman Pilpres di Indonesia, beberapa aspek dalam formula keseimbangan tersebut terkonfirmasi dalam penentuan cawapres sejak Pilpres 2004.

Pertama, keseimbangan daerah (regional balance), dengan memilih cawapres yang berasal dari wilayah geografis yang berbeda dengan capres. Pada Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berasal dari Jawa Timur berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) yang berasal dari Sulawesi Selatan. Pada Pilpres 2014, JK kembali dipilih untuk mendampingi Jokowi yang berasal dari Jawa Tengah. Pada Pilpres 2019, Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin yang berasal dari Banten.

Baca Juga: Hari Terakhir Pendaftaran Bacaleg Pemilu 2024, Tiga Parpol Dapat Pemakluman dari KPU Jawa Barat

Kedua, keseimbangan agama dan ideologi (religious and ideological balance). Dalam lanskap politik Indonesia, spektrum keagamaan dan ideologi melahirkan dikotomi nasionalis dan agamis. Pemasangan SBY-JK dalam Pilpres 2004, Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 dan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 menunjukkan keseimbangan spektrum nasionalis-agamis.

Ketiga, keseimbangan demografis (demographical balance), terutama dalam aspek kesukuan. Pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2014, SBY dan Jokowi yang berasal dari suku Jawa berpasangan dengan JK yang berasal dari suku Bugis. Pada Pilpres 2019, Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amien yang berasal dari suku Banten.

Keempat, keseimbangan usia (balance of age), yang dimaksudkan untuk memadukan kandidat berumur muda yang energik dengan kandidat berusia lebih tua yang memiliki kebijaksanaan. Pada Pilpres 2014, Jokowi yang berusia 50-an tahun dipasangkan dengan JK yang berusia 70-an tahun. Keseimbangan ini berulang pada Pilpres 2019, dimana Jokowi dipasangkan dengan Ma’ruf Amin yang berusia 70-an tahun.

Kelima, keseimbangan pengalaman politik (balance of political experience), dengan memasangkan kandidat yang belum memiliki pengalaman dalam politik dan pemerintahan di level nasional (political outsider) dengan yang telah memiliki pengalaman (political insider). Perpaduan ini terlihat dalam Pilpres 2014 di mana Jokowi yang baru memiliki rekam jejak sebagai pemimpin lokal dipasangkan dengan JK yang telah memiliki pengalaman panjang di tingkat nasional.

Baca Juga: Daftar Juara Liga Spanyol usai Barcelona Juara, Real Madrid dan Blaugrana Punya Berapa Gelar?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat