kievskiy.org

Balas Budi Politik dalam Pembagian Jabatan, Jangan Korbankan Reputasi Perusahaan

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Pixabay/René Schindler

PIKIRAN RAKYAT - Soal bagi-bagi jabatan bukan hal yang aneh di setiap usai pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah. Presiden, gubernur, bupati atau wali kota terpilih, selalu memberi "rewards" kepada orang-orang yang dianggap berjasa dalam pemenangannya. Walaupun fenomena ini selalu disanggah, tapi masyarakat tak bisa dibohongi bahwa ini adalah bentuk dan upaya balas budi.

Hampir semua negara melakukan praktik-praktik seperti ini, walaupun dengan kadar dan kepentingan yang berbeda. Namun, persoalan pokoknya adalah balas jasa atau balas budi, seringkali dibarengi dengan kompetensi atau profesionalisme yang memadai dari sosok calon pejabat.

Fenomena sebagaimana disebut di atas, banyak terjadi di beberapa jabatan strategis di perusahaan-perusahaan besar, terutama perusahaan milik negara, yang diisi oleh figur atau sosok pejabat produk balas budi.

Dalam beberapa pekan belakangan ini, isu bagi-bagi jabatan mencuat kembali memenuhi berbagai laman media publik, menjadi perbincangan hangat masyarakat. Beberapa orang yang dianggap berjasa memenangkan presiden terpilih 2024, memperoleh "kadeudeuh", hadiah jabatan.

Tentang hal ini, kita tak perlu berdebat, menyoal siapa sosok yang memperoleh hadiah tersebut. Toh, ini sudah menjadi semacam tradisi di setiap kali terjadi pergantian pemimpin pemerintahan atau presiden. Ternyata memang benar, kata sebuah ungkapan yang menyebut "Tak ada yang gratisan dalam politik". Semua pasti ada hitung-hitungan, membantu apa akan dapat apa.

Privilege politik

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik.

Balas budi politik dalam bentuk pemberian jabatan di tempat-tempat yang "basah", bisa memunculkan kecemburuan sosial, bahkan kecurigaan. Rewards yang berupa jabatan, membuat banyak orang 'ngiler', membuat banyak orang iri, terutama bagi kalangan karir di internal perusahaan terkait.

Memang tidak salah orang politik masuk menduduki jabatan-jabatan publik nan strategis di beberapa perusahaan negara, namun harus jelas parameter, kriteria dan tolok ukurnya. Pengalaman, rekam jejak, latar belakang profesi dan keahlian, harus menjadi tolok ukur utama, bukan hanya karena faktor privilege politik.

Jabatan-jabatan strategis di perusahaan-perusahaan besar yang mengelola aset puluhan hingga triliunan rupiah, misalnya komisaris, harus tetap diisi oleh sosok-sosok yang profesional dan kompeten. Dalam bahasa politik, inilah yang disebut dengan meritokrasi. Jabatan yang tak boleh diisi oleh sosok-sosok sembarangan, asal comot.

Sosok profesional yang menduduki suatu jabatan akan memberi banyak kontribusi di dalam memajukan perusahaan. Gaji dan fasilitas yang sangat besar yang diberikan oleh negara harus dibayar dengan prestasi kerja.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat