kievskiy.org

Mereduksi Penggunaan Keresek di Bandung, Butuh Regulasi Keras ala Pemerintah Singapura

Ilustrasi. Regulasi ala Pemerintah Singapura bisa jadi efektif kurangi penggunaan keresek di Bandung
Ilustrasi. Regulasi ala Pemerintah Singapura bisa jadi efektif kurangi penggunaan keresek di Bandung /Freepik Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Diperlukan aturan yang bersifat memaksa untuk mereduksi penggunaan kantong plastik di negeri ini, bukan sekadar insentif dan disinsentif yang masih bisa disiasati.

Beberapa tahun lalu, sesaat setelah Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 37 Tahun 2019 diterbitkan, hampir semua toko modern menghentikan penyediaan kantong plastik (keresek). Namun, seiring dengan perjalanan waktu, regulasi itu dilupakan orang. Kita saksikan kini, penggunaan keresek kembali marak. Padahal, peraturan tersebut masih berlaku hingga hari ini.

Kita sama sekali tidak merasa bersalah ketika masih menggunakan keresek. Kita juga tidak pernah ditegur ketika masih menggunakan keresek. Kita juga tidak pernah mendengar adanya pengelola toko, pedagang, ataupun masyarakat umum yang dihukum lantaran masih menggunakan keresek. Ya, hingga hari ini, kita masih bisa bebas menggunakan keresek dalam kehidupan sehari-hari.

Tak heran, produksi sampah di tingkat rumah tangga masih sangat tinggi. Merujuk Open Data Jabar, sebagaimana diberitakan “PR”, Senin (29/5/2023), Kota Bandung menempati urutan pertama sebagai wilayah dengan produksi sampah terbanyak di Jawa Barat. Pada 2021, timbunan sampah di Kota Bandung mencapai 1.529 ton per hari. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, dari total sampah tersebut, komposisi sampah plastik di Kota Bandung diestimasikan mencapai 11,6%.

Jumlah rata-rata penggunaan kantong plastik sekali pakai pun masih terbilang tinggi di Kota Bandung. Di tingkat rumah tangga, setiap orang memproduksi 107,54 lembar sampah per hari. Di tingkat pasar, setiap orang memproduksi 2817,63 lembar sampah per hari. Di tingkat retail, setiap orang memproduksi 7423,05 lembar sampah per hari.
Kita harus pahami bahwa fenomena itu berlaku ketika Perwal Nomor 37 Tahun 2019 masih berlaku. Mengapa itu bisa terjadi? Mungkin, kata kuncinya ada pada efek jera. Jika kita perhatikan, regulasi tersebut memang tidak memuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan efek jera.

Sebagaimana dapat kita baca di dalam Pasal 13, regulasi hanya menggunakan istilah “insentif” dan “disinsentif”, bukan “sanksi”. Tentu saja, insentif diberikan kepada pihak-pihak yang mematuhi peraturan itu, sedangkan disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melanggar. Di dalam pasal itu, disebutkan bahwa terdapat lima jenis insentif yang diberikan. Pertama, pemberian pengurangan, keringanan atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah. Kedua, pemberian kemudahan dalam pengurusan dan penerbitan perizinan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, ketiga, pemberian penghargaan. Keempat, publikasi tentang kepatuhan yang dilakukan oleh penyedia dan/atau produsen dalam pengurangan penggunaan kantong plastik melalui media cetak dan/atau elektronik. Kelima, bentuk lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lantas, bagaimana dengan disinsentif? Pasal yang sama hanya mengatur satu jenis disinsentif, yakni berupa publikasi tentang pelanggaran yang dilakukan oleh produsen dan/atau penyedia melalui media cetak dan/atau elektronik. Dengan kata lain, pembentuk regulasi itu lebih suka menjatuhkan hukuman berupa “mempermalukan” produsen dan/atau penyedia keresek di muka umum, yakni melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.

Akan tetapi, rasanya, selama hampir empat tahun sejak regulasi itu diterbitkan, pemberitaan mengenai pelanggaran aturan nyaris tak terdengar. Padahal, secara nyata, pelanggaran terhadap aturan tersebut nyampak di hareupeun panon. Jangan-jangan, kita memang tidak pernah berniat serius untuk menanggulangi persoalan penggunaan kantong plastik ini.

Kita masih bisa berharap bahwa Pemerintah Kota Bandung, dan juga pemerintah daerah-daerah di sekitarnya, menerbitkan peraturan yang lebih galak. Salah satu ketentuan yang dapat dimasukkan adalah mengenai adanya sanksi berupa denda, misalnya. Ketentuan seperti ini dapat kita lihat di sejumlah negara tetangga, seperti Singapura. Kita rasakan, aturan seperti itu mampu mendongkrak kepatuhan terhadap aturan. Buktinya, masyarakat Indonesia berubah menjadi sosok yang begitu patuh ketika melancong ke Negeri Singa itu. 

Kita punya pengalaman bagus, yakni soal kewajiban mengenakan helm saat mengendarai sepeda motor. Tentu saja, pelanggaran tetap saja terjadi di jalan raya, terutama ketika tidak ada polisi yang berjaga. Namun, dapat kita lihat, sebagian besar pengendara sepeda motor menyadari bahwa kewajiban menggunakan helm itu justru bermanfaat bagi dirinya sendiri.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat