kievskiy.org

Pengelolaan Pesantren Tidak Bisa Dilakukan dengan Mengedepankan dan Memanjakan Egoisme Kelompok

Ilustrasi pesantren.
Ilustrasi pesantren. /Pexels/Hassan Ahmad

PIKIRAN RAKYAT - Sebagai provinsi pertama di Indonesia yang memiliki Perda (Peraturan Daerah) tentang Pesantren, kita bersyukur bahwa instrumen legal yang dibutuhkan untuk rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi kepada pesantren di Jawa Barat sudah hadir berbentuk Perda Nomor 1/2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren. Di tahun yang sama, terbit hukum turunannya berbentuk Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 183/2021.

Tentu, kedua produk hukum ini akan menjadi payung yuridis kuat bagi pihak pemerintah provinsi dalam ikhtiar memuliakan dan memartabatkan keberadaan 12 ribu pesantren di seluruh Jawa Barat, dengan 8428 di antaranya telah memiliki NSPP (Nomor Statistik Pondok Pesantren). Ini sebuah sejarah besar, sekaligus legacy yang amat luhur, yang menandai babak baru kehidupan pesantren di Jawa Barat karena keduanya memberikan kewajiban bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bagaimanapun, 12 Bab dan 35 Pasal yang ada dalam Perda Nomor 1/2021, substansinya ada pada pasal-pasal yang berbicara perencanaan, pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan pesantren.

Di mata penulis, ada beberapa hal yang patut dikritisi dari kedua dasar aturan itu. Pertama, Pasal 30 Perda Nomor 1 Tahun 2021 dan Pasal 20 Pergub Nomor 183 Tahun 2021 memberi mandat perlunya dibentuk Tim Pengembangan dan Pemberdayaan Pesantren (TP3). Entah alasan apa, Kepgub tentang TP3 ini baru nyaris dua tahun kemudian dikeluarkan.

Baca Juga: 2 Pengurus Pesantren di Bogor Cabuli Santriwati dengan Modus Berbeda, Aksi Bejat Pelaku Buat Korban Menjerit

Kedua, TP3 terdiri atas unsur Pemerintah Daerah, Kementerian Agama, kalangan pesantren, asosiasi pesantren, professional, dan pemangku kepentingan. Walaupun secara akademik, kehadirannya dapat dimaknai sebagai niat baik pemerintah untuk mendorong terwujudnya pesantren yang lebih terhormat dan berdaya dengan melibatkan organisasi mitra yang dibentuk secara khusus. Akan tetapi, mengacu pada salinan keputusan yang penulis terima, TP3 seolah jadi wadah lain bagi orang-orang TAP (Tim Akselerasi Pembangunan) dan tim sukses yang telah dibubarkan Gubernur Ridwan Kamil yang sudah selesai masa tugasnya 5 September 2023 lalu.

Harap dicatat, mengelola pesantren tidak bisa dilakukan dengan mengedepankan dan memanjakan egoisme kelompok. Termasuk kelompok pendukung gubernur yang telah purna masa tugasnya. TP3 tidak boleh menjadi alat sekelompok orang dan harus bebas dari dominasi kepentingan tertentu. Bagaimanapun, mengelola belasan ribu pesantren di Jawa Barat tidak boleh dilakukan dengan egois dan mementingkan satu kelompok saja!

Ketiga, rekognisi, afirmasi dan fasilitasi pesantren di Jawa Barat tidak dapat dilakukan secara sekaligus dalam satu waktu, karena hal ini menyangkut langsung sumbu anggaran. Hal ini memerlukan sinergi, kohesi, kolaborasi, dan konektivitas program dari OPD-OPD (Organisasi Perangkat Daerah) Pemprov Jabar terkait yang diberikan amanah Perda dan Pergub untuk melaksanakan kemestian-kemestian yang secara eksplisit tertulis di kedua produk hukum tadi itu.

Baca Juga: Pemerintah Akan Gelontorkan Rp250 Miliar untuk Tingkatkan Mutu Pesantren

Harus diakui, ada banyak pertanyaan yang datang dari kalangan pesantren yang secara gamblang mempertanyakan apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Pemprov untuk mengimplementasikan Perda dan Pergub Pesantren itu. Ini adalah pertanyaan yang sangat normal, yang harus dijawab secara kompak dan berkesinambungan oleh Pemprov melalui OPD-OPD terkait. Secara simultan, Biro Kesra Pemprov Jabar sebagai leading sector sangat memerlukan dukungan anggaran yang kuat dari DPRD Jabar guna mengeksekusi berbagai kewajiban yang diamanahkan Perda Pesantren sebagai upaya bersama dalam dan memartabatkan pesantren.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat