kievskiy.org

Stunting dan Kesehatan Mental Jangan Disepelekan, Bonus Demografi Bisa Berubah Jadi Bencana

Kader posyandu mengukur lingkar kepala balita saat pelaksanaan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kawasan Perumahan Surya Asri 2 Jumputrejo, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (11/11/2023). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Timur menargetkan angka prevalensi stunting di Jawa Timur tahun 2023 mengalami penurunan 16 persen dan 2024 turun lagi menjadi 14 persen atau di bawahnya.
Kader posyandu mengukur lingkar kepala balita saat pelaksanaan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kawasan Perumahan Surya Asri 2 Jumputrejo, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (11/11/2023). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Timur menargetkan angka prevalensi stunting di Jawa Timur tahun 2023 mengalami penurunan 16 persen dan 2024 turun lagi menjadi 14 persen atau di bawahnya. /Antara/Umarul Faruq

PIKIRAN RAKYAT - Selain politik, isu kesehatan juga menjadi topik lain yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat. Stunting (tengkes), cacar monyet, infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA, kesehatan mental, bahkan kasus gagal ginjal akut pada anak akibat obat penurun panas pun masih menjadi 'pekerjaan rumah' (PR) dan belum menemukan titik terang, terutama bagi para korban dan keluarganya.

Tengkes atau stunting, mungkin akan menjadi topik yang akan terus dibahas sampai pemilu berakhir. Selain menjadi bahan kampanye, tengkes juga menjadi PR yang tak kunjung selesai. Dilansir dari keterangan Kemenkes, kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan.

Ini terjadi sampai 1.000 hari pertama kehidupan anak. Sebenarnya, tengkes tidak hanya dialami oleh balita pada keluarga tak mampu. Banyak pula orangtua dari kalangan mampu yang salah kaprah dalam memberikan asupan gizi anaknya.

Kementerian Kesehatan bahkan merilis, masifnya pemberian susu formula menggantikan ASI pada anak usia 6 bulan ke atas menjadi salah satu kendala penuntasan tengkes. Ada lima langkah penting yang dikeluarkan Kemenkes terkait penanganan tengkes. Dua di antaranya adalah mencukupi konsumsi protein hewani bagi anak usia 6 bulan ke atas dan pemberian ASI eksklusif.

Hanya saja, entah mengapa pamor susu formula di Indonesia jauh lebih moncer ketimbang ASI eksklusif yang jauh lebih "murah". Promo soal sufor yang bisa membuat anak cerdas, ini dan itu, lebih dipercaya orangtua.

Bahkan, mereka sampai habis-habisan mengusahakan sufor untuk anak di bawah 3 tahun. Tak heran jika Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor tercepat di dunia.

Petugas kesehatan mengukur lingkar kepala balita saat pemeriksaan stunting pada anak dalam bakti kesehatan Akabri 91 di Denpasar, Bali, Sabtu (21/10/2023). Kegiatan tersebut merupakan bentuk kepedulian alumni Akabri 91 atas pengabdiannya selama 32 tahun untuk NKRI dengan menggelar bakti kesehatan yaitu pelayanan kepada 50 orang pasien stunting.
Petugas kesehatan mengukur lingkar kepala balita saat pemeriksaan stunting pada anak dalam bakti kesehatan Akabri 91 di Denpasar, Bali, Sabtu (21/10/2023). Kegiatan tersebut merupakan bentuk kepedulian alumni Akabri 91 atas pengabdiannya selama 32 tahun untuk NKRI dengan menggelar bakti kesehatan yaitu pelayanan kepada 50 orang pasien stunting.

Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di kalangan anak usia 6–23 bulan yang sudah tidak mengonsumsi ASI menunjukkan 72,9 persen di antaranya mengonsumsi susu formula. Jika pemerintah tidak membatasi ketat pemasaran susu formula, target penurunan stunting dari 21,6 persen pada 2022 ke 14 persen pada 2024, dipastikan sulit dicapai.

Sebagai anugerah dari Allah SWT, ASI memberikan asupan gizi yang sangat cukup dan sesuai dengan usia bayi. Tak seperti sufor yang 71 persennya tergolong tinggi gula berdasarkan sistem Badan Standar Makanan Inggris (UK FSA). Selain itu, rata-rata kadar gula pada sufor batita mencapai 7,3 gram per 100 ml, setara dengan kadar gula pada minuman berpemanis.

Penelitian di Bandung menunjukkan, semakin sering dan semakin dini anak mengonsumsi kudapan, termasuk minuman berpemanis, berhubungan dengan kejadian stunting yang lebih tinggi. Sebab, makanan dan minuman berpemanis ini akan menggantikan makanan padat gizi yang dibutuhkan untuk mencegah stunting, terutama pada periode rentan pada usia 6 bulan–2 tahun.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat