kievskiy.org

Pemerintah 'Paksa' Rakyat Makan Nasi, Diversifikasi Pangan Cuma Mimpi

Diversifikasi pangan akan menjadi hal yang percuma jika masih memaksa masyarakat makan nasi.
Diversifikasi pangan akan menjadi hal yang percuma jika masih memaksa masyarakat makan nasi. /Antara/Muhammad Arif Pribadi

PIKIRAN RAKYAT - Kata bahasa Sunda, "tojaiah", dapat diartikan sebagai berlawanan, berlainan paham, berbeda pendirian, atau berbeda anggapan. Dalam kaitanya dengan kebijakan pemerintah, adakalanya kita harus menerima dengan ikhlas jika ada kebijakan atau program yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Contoh konkret yang kita rasakan adalah Kebijakan Diversifikasi Pangan dan Program Beras untuk Masyarakat Miskin atau RASKIN atau Bantuan Langsung Beras.

Diversifikasi pangan atau yang lebih populer dengan sebutan penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.

Menurut catatan, kemauan politik yang diikuti oleh tindakan politik pemerintah untuk meragamkan pola makan agar kita tidak menggantungkan diri terhadap beras, sebetulnya telah digaungkan sekira 60 tahun silam.

Kesungguhan pemerintah untuk mewujudkan penganekaragaman pangan, bukan cuma basa-basi politik. Namun, diikuti pula oleh tindakan politik yang mendukung. Regulasi banyak dilahirkan. Hampir setiap pemerintahan selalu mengangkat isu diversifikasi sebagai salah satu masalah yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita harus secepatnya mengurangi kedoyanan masyarakat terhadap nasi.

Karbohidrat bukan cuma nasi

Ilustrasi pengolahan sagu.
Ilustrasi pengolahan sagu.

Rakyat mesti disadarkan bahwa karbohidrat bukan hanya beras, tapi masih banyak pangan alternatif yang dapat kita konsumsi. Kelebihan mengonsumsi nasi juga kurang baik untuk kesehatan. Sagu, jagung, kentang, talas, singkong dan pisang adalah sejumlah bahan pangan nonberas yang sekarang ini sedang dikembangkan pemerintah.

Pilihan terhadap pangan alternatif ini, tentu perlu ditindaklanjuti dengan ketersediaannya yang cukup. Jangan sampai kita mengkampanyekan pangan alternatif, tapi setelah rakyat menyatakan kesiapannya, ternyata bahan pangan alternatifnya tidak tersedia. Atau bisa saja pangan itu ada, namun harganya mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat.

Lebih lucu lagi, bila harga pangan alternatif tersebut ternyata lebih mahal daripada beras. 

Perlu jadi perhatian pula bahwa untuk mengolah sagu, jagung, atau singkong hingga siap dikonsumsi, tampak lebih rumit dibandingkan dengan mengolah nasi. Belum lagi soal rasa dan rupa yang terkadang membuat kita agak geli memandangnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat