kievskiy.org

Pilpres 2024: Presiden Bermutu Akan Lahir dari Masyarakat yang Tak Termakan Pencitraan

Ketua Umum Gerakan Sekali Putaran (GSP), Muhammad Qodari, meyakini bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, memiliki peluang 70 persen untuk memenangi Pilpres 2024 dalam satu putaran.
Ketua Umum Gerakan Sekali Putaran (GSP), Muhammad Qodari, meyakini bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, memiliki peluang 70 persen untuk memenangi Pilpres 2024 dalam satu putaran. /Antara/Galih Pradipta

PIKIRAN RAKYAT - Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, hanya bisa berhasil jika rakyat memiliki kecukupan political quotient (kecerdasan berpolitik). Mendelegasikan mandat mengelola negara dengan segala kompleksitasnya kepada seseorang yang disebut kepala negara atau wakil rakyat, jelas tidak boleh sembarangan.

Faktanya, kecerdasan berpolitik masyarakat berbeda-beda. Namun, dalam demokrasi langsung, jatah suara mereka tetap dihitung sama yakni satu suara. Siapa yang mereka pilih bergantung pada level political quotient mereka.

Political quotient atau kecerdasan politik merupakan seperangkat pengetahuan dan berpikir (kritis dan analitis), kesadaran, serta keterampilan seseorang yang menjadi landasan untuk membuat keputusan politik dan melibatkan diri dalam urusan politik.

Kecerdasan ini memungkinkannya untuk memahami, menyadari, menyikapi, beropini, mengkritisi, berpihak, memilih peran, dan berpartisipasi dalam lanskap politik yang dinamis secara bertanggung jawab.

Namun, kenyataannya, kecerdasan politik ini bisa saja menjadi tumpul atau tidak berkembang dengan baik. Penyebabnya banyak. Antara lain misinformasi dan disinformasi yang membuat rakyat terpapar informasi palsu atau menyesatkan, sehingga persepsi dan akurasi pemahamannya tentang masalah politik terdistorsi.

Sebab lainnya, sikap apatis dan berlepas diri, abai, dan acuh tak acuh karena selama ini politik dianggap sesuatu yang kotor. Mereka menganggap, siapa pun penguasanya, tidak berdampak pada perubahan, dan alasan lainnya. Faktor lain, bias media massa dan media sosial yang menggiring publik pada pemahaman miring tentang sesuatu atau seseorang dalam konteks politik.

Ilustrasi surat suara Pemilu 2024.
Ilustrasi surat suara Pemilu 2024.

Rendah atau lemahnya kecerdasan politik dapat pula disebabkan keterbatasan akses informasi sehingga menghambat berkembangnya pengetahuan politik dan keterampilan berpikir kritis-analitis. Bisa pula, karena kurangnya pendidikan kewarganegaraan (civic education), sikap fanatik akibat polarisasi politik, juga atmosfer otoritarianisme ketika kebebasan politik diawasi, dibatasi, diintimidasi, bahkan dikriminalisasi.

Jika ingin meningkatkan kualitas berdemokrasi, diperlukan upaya serius meningkatkan kecerdasan politik warga negara secara edukatif, informatif, dan partisipatif. Misalnya, melalui pendidikan kewarganegaraan yang komprehensif yang mengajarkan dasar-dasar pemerintahan, proses politik, dan pentingnya keterlibatan sipil.

Perlu juga melebarkan akses informasi, pendidikan, berpikir logis-kreatif-kritis dan literasi media agar rakyat terbiasa mengevaluasi informasi secara selektif, memastikan informasi itu valid dan tidak terjerumus dalam misinformasi dan disinformasi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat