kievskiy.org

Apakah Ulama Boleh Memihak di Pilpres 2024? Ada 3 Hal yang Harus Jadi Rujukan

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (tengah) berbincang dengan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) serta capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo saat menghadiri Penguatan Anti Korupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (17/1/2024). Paku integritas menjadi momentum pernyataan komitmen tiga pasangan capres-cawapres dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (tengah) berbincang dengan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) serta capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo saat menghadiri Penguatan Anti Korupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (17/1/2024). Paku integritas menjadi momentum pernyataan komitmen tiga pasangan capres-cawapres dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. /Antara/Aditya Pradana Putra

PIKIRAN RAKYAT - Apakah ulama boleh memihak, boleh berkampanye, boleh mengarahkan umat untuk mendukung capres-cawapres tertentu? Akar dari soal ini bisa dirujuk dari pola hubungan agama dengan negara. Dengan itu, kita bisa memahami bagaimana relasi antara ulama dengan politik, dan akhirnya soal dukung-mendukung capres.

Terdapat sejumlah model negara berdasarkan hubungan antara agama dan negara. 

  1. Negara sekularis: agama secara tegas dipisahkan dari seluruh tatanan yang dikelola oleh negara, tidak ada pintu dan ruang bagi agama untuk memasuki dan mengisinya. Agamawan berkiprah di ruang privat dan komunitas terbatas. 
  2. Negara teokratis: agama secara legal-formal-struktural menjadi faktor dominan atas posisi dan fungsi semua instrumen dan mekanisme kenegaraan dan pemerintahan. Demikian juga agamawan.
  3. Negara pluralis: Keragaman agama diberi ruang secara inklusif dan diperlakukan sebagai pranata dan institusi yang menjadi bagian dari tanggungjawab negara. Negara membuat pengaturan yang diperlukan untuk menjamin eksistensi dan aktualisasi ajaran-ajarannya. Agamawan memainkan peran bukan hanya terhadap umatnya, melainkan menjadi agen utama dalam dialog, kerjasama dan toleransi lintas keumatan.
  4. Negara dengan identitas agama tertentu: identitas tersebut relatif menonjol dan memiliki pengaruh secara sosial, kultural, dan governmental. Dalam hal ini, agama dan agamawan mempunyai kedudukan dan peran penting, serta ikut mempengaruhi kebijakan pemerintahan.
  5. Negara ateis: agama tidak dipertimbangkan sama sekali dalam kultur, apakah struktur, pemerintahan dan kenegaraan. Walaupun demikian, mungkin saja agama dan agamawan masih mempunyai ruang eksistensi yang sangat terbatas.

Dalam kerangka teoritis ini, Indonesia termasuk yang mana?

Ulama dan political citizenship

Sebagai warga negara, ulama memiliki hak politik. Dia berhak memilih dan dipilih dalam proses pemilihan umum, dia berhak menyampaikan pandangan dan sikap tentang isu-isu politik atau sosial, sesuai dengan prinsip kebebasan berbicara yang dijamin dalam sistem demokrasi. Dia berhak terlibat organisasi politik atau mendirikan partai politik untuk mengambil peran langsung dalam kekuasaan.

Namun, hak itu berkelindan dengan tanggung jawab. Ulama wajib mematuhi peraturan perundang-undangan perpolitikan, memberikan pendidikan politik kepada umat sesuai nilai-nilai keagamaan, mendorong partisipasi politik rakyat, menjunjung nilai-nilai keadilan politik, memberikan pandangan moral dan etika kepada pembuat kebijakan, menjaga implementasi nilai-nilai keagamaan dalam konteks politik, mencegah penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kebenaran.

Dilihat dari keterlibatan ulama (agamawan muslim) dengan politik (dalam arti pengelolaan seluruh aspek hajat kehidupan rakyat), setidaknya dapat dibuat klasifikasi demikian.

  1. Ulama netral: memosisikan dirinya pada ranah keagamaan yang sifatnya ubudiyah (spiritual, ritual dan moral), tidak melibatkan diri dalam ranah urusan kekuasaan, pemerintahan dan kenegaraan. Ulama lebih memilih peran sebagai pendidik, pemandu dan rujukan umat dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai akidah, ibadah dan akhlak.
  2. Ulama semipartisipatif: melibatkan diri dalam wacana atau praktik politik dengan batasan tertentu. Misalnya memberikan petuah/petunjuk moral atau mendukung kebijakan yang sejalan dengan prinsip keagamaan.
  3. Ulama politikus: berpartisipasi secara aktif dalam politik, memiliki pengaruh signifikan terhadap pembuatan kebijakan, aktif melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat, menjadi fungsionaris organisasi politik, bahkan menerjunkan diri dalam pemerintahan baik eksekutif ataupun legislatif.
  4. Ulama oposan: bersuara kritis terhadap pemerintah karena negara atau pemerintahan membuat atau menjalankan sistem, mekanisme, kebijakan yang dianggap keluar dari/melanggar nilai-nilai moral dan ajaran agama, atau membahayakan sendi kehidupan dan keberlangsungan negara dan rakyat. Dalam taraf tertentu oponensi mungkin mengejawantah menjadi gerakan kolektif-aktif.
  5. Ulama mediator: mengambil peran menengahi ketika terjadi friksi atau kekisruhan politik baik di grass root maupun di level elit, menginisiasi dialog antar pihak, menawarkan alternatif jalan keluar demi harmonisasi dan kemaslahatan lebih besar.

Patut disesalkan, jika atas dasar kepentingan tertentu, ada pihak (bisa rakyat atau negara) yang menodai political citizenship ulama, sehingga muncul tindakan inkonstitusional terhadap ulama yang berpolitik.

Sejumlah perlakuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak konstitusional/hak asasi, misalnya:

  • Membatalkan, membubarkan, atau membatasi kebebasan berbicara ulama ketika menyuarakan pandangan politik atau kritik terhadap pemerintah
  • Menghambat atau membuat larangan yang tidak adil terhadap ulama yang ingin berpartisipasi dalam proses politik, menggunakan dasar hukum agama untuk menargetkan ulama agar tidak terlibat dalam aktivitas politik
  • Melakukan pengintaian, memata-matai, intimidasi atau pengawasan yang tidak sah oleh aparat keamanan demi menghalangi mereka berpolitik; penekanan dalam bentuk membatasi atau menghentikan hak-hak sipil ulama yang terlibat dalam aktivitas politik
  • Tanpa alasan yang benar dan jelas atau rujukan hukum yang wajar melakukan pembubaran atau melarang organisasi keagamaan yang terlibat dalam kegiatan politik
  • Menggunakan sistem hukum secara politis untuk menargetkan ulama melalui penuntutan hukum yang tidak adil.

Prinsip mendasar yang semoga menjadi rujukan ketika ulama berpolitik/tidak, mendukung/tidak paslon tertentu, yaitu:

  1. Dakwah ilal khair, agar kekuasaan memuliakan nilai-nilai etis/kebajikan
  2. Amru bi al-ma’ruf, agar kekuasaan digunakan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
  3. Nahyu ‘an al-munkar, agar kekuasaan digunakan untuk menghilangkan penyimpangan, kejahatan, keburukan.

Itulah 3 hal yang seharusnya dijadikan pegangan bagi ulama sebelum memutuskan akan berpihak ke paslon tertentu atau tidak. (Asep Dudi S. - Wakil Dekan 1 FTK UNISBA)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat