kievskiy.org

Indonesia Negara Hukum tetapi Hukumnya Sering Bermasalah, Entah Siapa yang Salah

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli HAM membawa poster saat Aksi Kamisan di depan Brikan alaikota Malang, Jawa Timur, Kamis (19/9/2019). Dalam pernyataan sikapnya, mereka meminta pemerintah lebih tegas dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM, menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) serta memberikan perlindungan bagi perempuan dengan mengesahkan Revisi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli HAM membawa poster saat Aksi Kamisan di depan Brikan alaikota Malang, Jawa Timur, Kamis (19/9/2019). Dalam pernyataan sikapnya, mereka meminta pemerintah lebih tegas dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM, menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) serta memberikan perlindungan bagi perempuan dengan mengesahkan Revisi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). /Antara Foto/Ari Bowo Sucipto

PIKIRAN RAKYAT - Meskipun Indonesia merupakan negara hukum, tetapi sering timbul masalah hukum yang berlarat-larat. Sering kita dibuat agak bingung, masalahnya di mana? Apakah karena manusianya atau justru perangkat hukumnya?

Ada yang berpendapat bahwa masalah krusial di negara kita adalah undang-undang. Jika sangkaan ini memiliki bukti yang kuat, pasti tidak boleh dibiarkan. Namun, bagaimana memperbaikinya?

Lembaga pembuat undang-undang adalah DPR. Pembuatan undang-undang
bukan sesuatu yang gampang. Prosesnya panjang dan berlapis-lapis. Peran masyarakat pun disertakan dalam proses tersebut. Mengapa beberapa undang- undang yang sudah diberlakukan justru menimbulkan masalah di kemudian hari?

Dalam proses yang panjang tersebut, peran manusia sangat menentukan. Memang,
kemungkinan timbulnya celah sekecil apa pun harus dicegah sehingga konsekuensi
hukum dapat diperlakukan sebagaimana mestinya. Sejak awal harus diantisipasi
sehingga tidak ada kemungkinan untuk membelokkannya.

Apa yang terjadi justru kebalikannya. Bukan sekali atau dua kali aturan yang sudah menjadi
undang-undang dilanggar berdasarkan argumen yang kemudian menimbulkan
perdebatan panjang. Dalam kasus-kasus seperti itu, biasanya kekuasaan memegang
peran yang menentukan. Timbul kesan hukum seolah-olah diakomodasikan untuk
kepentingan kekuasaan.

Padahal, justru kemungkinan seperti itulah yang harus dicegah. Di antara mereka yang paham masalah-masalah kenegaraan, ada yang berpendapat bahwa ketatanegaraan kita, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, sebenarnya lebih akomodatif ketimbang Trias Politica.

Peran serta masyarakat diberi peluang yang lebih luas karena adanya perwakilan golongan dan utusan daerah di MPR. Artinya, pembagian kekuasaan bukan sebatas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bukan sesuatu yang mustahil jika pendapat seperti itu ada benarnya. Itulah yang terus menjadi silang pendapat setelah UUD 1945 diamendemen dan berlaku sampai saat ini.

Kebutuhan yang terus berkembang

Silang pendapat tentang masalah-masalah kenegaraan tidak akan pernah selesai karena kebutuhannya juga terus berkembang. Apa yang sering terjadi di negara ini adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan secara mendadak, bukan berdasarkan kepentingan jangka panjang. Contoh yang paling krusial adalah Amendemen UUD 1945 sebagai tuntutan untuk mengakomodasikan semangat Reformasi.

Mungkin bangsa ini perlu menyegarkan kembali ingatan terhadap masa lalu, terutama ketika para pendiri bangsa berdebat dan bersilang pendapat untuk menyepakati landasan negara seperti apa yang dibutuhkan bangsanya ke depan.

Mereka bukan semata memenuhi kebutuhan saat itu, melainkan mencoba mengikuti perjalanan sejarah selanjutnya, tuntutannya berkembang sehingga konstitusi beberapa kali berganti.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat