kievskiy.org

Polemik Pemilu 2024, Perlukah Sistem Demokrasi Indonesia Diubah?

Bilik suara di Pemilu 2024.
Bilik suara di Pemilu 2024. /Pikiran Rakyat/Abdul Muhaemin

PIKIRAN RAKYAT - Sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang sengketa Pemilu 2024, baik Pilpres maupun Pileg. Ketiga tim hukum capres-cawapres mengerahkan strategi, argumentasi, bukti dan saksi terbaiknya untuk meyakinkan para hakim konstitusi dan memenangkan perkara, demikian juga tim advokasi partai politik yang merasa dirugikan atas hasil perhitungan versi KPU.

Ada yang menarik dari pernyataan para pemohon yaitu kubu capres-cawapres 01 dan 03, bahwa gugatan ke MK bukan (hanya) persoalan menang-kalah, melainkan soal nasib demokrasi di masa-masa mendatang.

Pengelolaan pemerintahan satu dekade terakhir, manuver-manuver politik jelang pilpres oleh pemegang kekuasaan, dugaan ketidakprofesionalan penyelenggaraan pemilu, reaksi keras sejumlah elemen civil society, dan terakhir pengajuan amicus curiae oleh akademisi kepada MK. Semua yang terkait pilpres ini bermakna apa?

Dipilih MPR

Merujuk pada konsep kepemimpinan deliberatif, proses pemilihan presiden dapat dilakukan oleh wakil-wakil rakyat pada lembaga legislatif yang dipilih melalui proses demokratis.

Proses ini dinilai merupakan manifestasi pentingnya diskusi dan deliberasi demokrasi dalam pengambilan keputusan politik. Melalui proses ini dianggap lebih berpeluang membangun stabilitas kekuasaan politik yang lebih harmonis dan sinkron karena presiden mendapatkan legitimasi dari lembaga legislatif.

Terjemahan hal tersebut, sejak era Sukarno, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) didudukkan sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan, sebagaimana dinyatakan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, di antaranya memilih hingga melantik presiden-wakil presiden. Setelah Sukarno jatuh pasca G30S PKI, MPRS pada Maret 1967 menunjuk Suharto sebagai pejabat presiden.

Setahun kemudian melantiknya menjadi Presiden dan MPR (dengan komposisi keanggotaan yang sedemikian rupa) terus mendukungnya untuk berkuasa di tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998, hingga gerakan reformasi memaksanya untuk lengser. Setelah amandemen keempat, kewenangan MPR ini dihapus, dan sejak itu presiden-wakil presiden ditentukan melalui pilpres langsung dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai produk pertamanya pada tahun 2004.

Pilpres Langsung

Pemilihan presiden secara langsung dianggap lebih demokratis dari sudut pandang inklusifitas, partisipatori, dan representasi. Hal ini didasarkan pada pandangan The Social Contract bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan yang ketika mereka memberikan mandat kekuasaan politik kepada pihak lain maka pihak tersebut semestinya ditentukan langsung oleh rakyat. Dengan demikian pemerolehan kekuasaan politik tersebut dinilai legitimated.

Pilpres langsung juga menyediakan wadah bagi partisipasi aktif rakyat sebagai manifestasi hak berpolitik, termasuk di dalamnya hak membuat keputusan politik yang berdampak pada nasib bangsa dan negaranya.

Pilpres langsung juga dianggap mencerminkan prinsip akurasi keterwakilan yang mana rakyat secara setara memilih calon pemegang kekuasaan yang mereka percayai akan mewujudkan harapan, aspirasi dan hajat hidup mereka melalui penyelenggaraan negara dan pengelolaan pemerintahan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat