PIKIRAN RAKYAT - Hampir sepekan Ramadan berlalu. Beberapa orang pilu meninggalkannya karena khawatir tahun depan tak akan bertemu lagi Ramadhan. Ada pula orang yang gembira memasuki bulan Syawal karena akan merayakan kemenangan.
Persiapan menyambut Lebaran dilakukan dengan serius. Beragam makanan dan minuman ditata di meja makan semenarik mungkin agar menggugah selera. Beberapa orang lainnya sibuk mempersiapkan cerita dramatis bagaimana dia meraih kesuksesan di perantauan.
Pada 10 April 2024 pagi, Idulfitri kian berkilau berkat mereka yang memakai baju shimmer di mana-mana. Selama tidak berlebihan dan tidak melanggar norma-norma agama, semua itu merupakan hal yang wajar dalam merayakan Idul Fitri.
Syawal Jadi Pembuktian
Syawal adalah kemenangan bagi umat Islam setelah berperang melawan hawa nafsu selama sebulan. Namun, tak sedikit orang yang menjadikan momentum kemerdekaan tersebut dengan berlebihan. Mereka mengonsumsi makanan dan minuman dengan kemaruk, bak burung yang lepas dari sangkarnya.
Segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah berakibat baik. Akibat makan terlalu banyak saat Lebaran, tak sedikit orang kelelahan dan tertidur lelap sampai telat bahkan terlewat melaksanakan salat.
Padahal, Syawal bukan berarti akhir dari perjalanan Ramadan. Bulan ini merupakan waktu untuk rehat sejenak, menjadikannya sebagai titik awal pemberangkatan untuk kembali mengembara, menelusuri liku-liku kehidupan sosial-spiritual pada sebelas bulan berikutnya.
Perilaku kita pada bulan Syawal menjadi pembuktian keberhasilan ibadah puasa. Jika aktivitas sosial-spiritual kita semakin meningkat, kemungkinan besar ibadah puasa kita mabrur, baik, dan diterima Allah SWT.
Namun, jika aktivitas sosial-spiritual kita semakin menurun, lebih jelek daripada selama bulan Ramadan, bisa jadi ibadah puasa kita mardud alias ditolak Allah SWT.