kievskiy.org

Rupiah Melemah, Pemerintah Harus Yakinkan Rakyat Krisis Moneter 1998 Tak Terjadi Lagi

Ilustrasi rupiah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melemah.
Ilustrasi rupiah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melemah. /ANTARA/Reno Esnir

 
PIKIRAN RAKYAT - Dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika semakin merosot. Pada penutupan perdagangan, Rabu 17 April 2024, nilai tukar per 1 dolar AS berada di angka Rp16.282. 
 
Bayang-bayang krisis moneter di tahun 1998 pun mulai dikhawatirkan banyak pihak. Tak heran karena Mei 1998 dikenang sebagai satu lembaran kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Kala itu, Indonesia terjatuh ke dalam jurang resesi paling dalam akibat dari krisis moneter yang menghantam Asia Tenggara. 
 
Saat itu, rupiah mengalami penurunan nilai yang drastis, mencapai titik terendahnya dari Rp2.500 menjadi Rp16.800 per dolar AS. Kejadian ini menandai kehilangan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia, dengan dampak yang merugikan. Sebut saja lonjakan harga barang dan jasa yang memicu inflasi hingga 78 persen, kegiatan ekonomi yang lumpuh, banyaknya perusahaan yang bangkrut, dan peningkatan angka pengangguran.
 
Indonesia bahkan butuh waktu agak lama untuk bisa mulai pemulihan yakni di tahun 2000. Trauma hantaman pandemi Covid 19 juga belum hilang. Bahkan, dampaknya belum sepenuhnya pulih. Masa iya, masih harus dihantam krisis kembali?
 
Di tengah kekhawatiran itu, pemerintah terus meyakinkan publik jika Indonesia dalam kondisi baik meski harus tetap mewaspadai sejumlah dampak pelemahan rupiah yang diproyeksikan akan terus berlanjut hingga beberapa waktu ke depan. 
 
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto misalnya. Dia menjelaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di tengah konflik Iran dan Israel relatif lebih baik dibandingkan beberapa negara Asia lainnya seperti Malaysia, Cina, Korea Selatan, dan Thailand.
 
Meskipun rupiah melemah, Airlangga optimistis bahwa perekonomian Indonesia masih kuat dengan pertumbuhan di atas 5 persen, neraca perdagangan surplus, dan cadangan devisa yang besar (US$136 miliar).
 
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto mengatakan, anjloknya rupiah dipengaruhi oleh memanasnya konflik antara Iran dan Israel. Disebutkan, selama periode libur lebaran, terdapat perkembangan global, salah satunya rilis data fundamental AS yang menunjukkan ekonomi AS masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang berada di atas ekspektasi pasar. 
 
Dijelaskan, kedua sentimen global tersebut menyebabkan menguatnya potensi risk off atau perubahan dalam aktivitas investasi dalam merespons pola ekonomi global, sehingga mata uang negara berkembang khususnya Asia mengalami pelemahan terhadap USD.
 
Data menunjukkan bahwa Baht Thailand dan Won Korea terdepresiasi 0,24 persen dtd, Ringgit Malaysia 0,24 persen dtd, dan indeks FKLCI Malaysia melemah 0,55 persen dtd. Bank Indonesia (BI) pun siap melakukan intervensi untuk memastikan nilai tukar rupiah terjaga. Hal tersebut menyikapi perkembangan situasi geopolitik di kawasan Timur Tengah yang diperkirakan akan berdampak terhadap kondisi ekonomi internasional. 
 
Intervensi dilakukan baik melalui spot maupun non delivery forward (NFD). BI juga akan terus berkoordinasi dengan pemerintah selaku pemangku fiskal, guna menjaga stabilisasi moneter dan fiskal. BI memastikan berada di pasar untuk melakukan langkah-langkah stabilisasi.
 
Saat ini, BI telah melakukan sejumlah langkah penting untuk menjaga kestabilan rupiah usai libur Lebaran serta di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah dan dinamika perkembangan perekonomian Amerika Serikat (AS).
 
Ada tiga langkah yang dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pertama, menjaga keseimbangan supply dan demand valas di market melalui triple intervention khususnya di spot dan DNDF. Kedua, meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong capital inflow. Misalnya melalui daya tarik SRBI dan hedging cost. Terakhir, berkoordinasi dan berkomunikasi dengan stakeholder terkait, seperti dengan pemerintah, Pertamina dan lainnya. 
 
Ekonom Senior yang juga mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu, mengatakan, pelemahan rupiah bisa berdampak pada kenaikan inflasi, terutama untuk barang impor atau dengan bahan baku impor. 
 
Hal ini masih diperburuk dengan harga minyak mentah dan biaya logistik naik akibat jalur perdagangan di kawasan TImur Tengah terganggu perang. Meski, pemerintah memastikan belum akan menaikkan harga BBM hingga pertengahan tahun 2024 ini. 
 
Pelemahan nilai tukar dan kenaikan harga minyak mentah ini juga bisa berpengaruh pada harga pangan. Sebab, biaya logistik berpotensi naik dan memperburuk tekanan inflasi di tengah-tengah masyarakat. Padahal, sebelumnya masyarakat sudah menjerit karena kenaikan harga beras yang menggila. Memang, perang pada akhirnya merugikan banyak pihak. Bahkan dampaknya dirasakan oleh masyarakat kecil yang bahkan tidak tahu menahu soal konflik Iran-Israel. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat