kievskiy.org

Karya Sastra Pengganti Skripsi, Mungkinkah?

Ilustrasi skripsi
Ilustrasi skripsi /Pixabay/mohamed_hassan

PIKIRAN RAKYAT - Mungkinkah? Untuk menjawabnya, saya awali dengan cerita tentang seorang dosen bernama Patricia Leavy. Dia dianggap sebagai pendukung penelitian berbasis seni atau arts-based research (ABR). Dia menciptakan istilah "fiksi sosial" dan "penelitian berbasis fiksi".

Leavy telah menulis 40 buku (fiksi dan nonfiksi). Karyanya dalam bentuk novel, di antaranya Low-Fat Love (2015). Jika kita membaca kata pengantar novel, sebenarnya tidak lazim dalam novel terdapat kata pengantar, Leavy menjelaskan bahwa novelnya merupakan produk dari jerih payah penelitiannya bertahun-tahun berkaitan dengan persoalan krisis kepercayaan diri yang menimpa perempuan Amerika. Leavy melakukan observasi dan wawancara pada puluhan, bahkan ratusan partisipan. Di bagian akhir novel, Leavy pun memberikan tips kepada para pembaca untuk memanfaatkan novel ini dalam pembelajaran di kelas, bahan diskusi untuk komunitas tertentu, atau pemantik penelitian yang akan dilakukan pembaca.

Mengapa Leavy lebih tertarik pada aktivitas menulis dan berperan sebagai cendekiawan publik daripada sebagai cendekiawan akademik (dosen atau profesor) di perguruan tinggi? Dalam bukunya berjudul Re/Invention: Methods of Social Fiction (Leavy, 2023), Leavy menjelaskan, selama hampir satu dekade dia mengumpulkan data penelitian, terutama dengan perempuan, gender dan identitas seksual, citra tubuh, serta harga diri. Leavy menulis artikel di jurnal bereputasi internasional yang ditinjau oleh peer reviewer. Namun, Leavy merasa aktivitas itu tidak dapat mengungkap dan menangkap esensi dari yang dipelajari bertahun-tahun, bahkan tidak banyak diakses oleh orang-orang di luar akademi. Rasa frustasi Leavy membawanya pada ABR dan akhirnya fiksi sosial.

Ada dua hal yang relevan dari cerita Leavy dengan tulisan ini, yaitu ABR dan fiksi sosial. Singkatnya, Leavy melakukan penelitian, tetapi produk utamanya bukan skripsi, tesis, disertasi atau artikel jurnal ilmiah, melainkan karya sastra dalam bentuk novel, yang dinamainya fiksi sosial. ABR pada tahun 1970-an telah disinggung oleh Elliot Eisner dan pada tahun 1993 dalam konferensi Pendidikan di Universitas Stanford, Eisner memantapkan istilah tersebut sebagai model penelitian yang dapat memperkaya penelitian ilmu sosial, humaniora, dan ilmu perilaku.

Kita kembali ke judul tulisan ini. Berdasarkan Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023, program studi di perguruan tinggi (S-1, S-2, dan S-3) dapat memastikan ketercapaian kompetensi lulusan bentuk karya ilmiah (skripsi, tesis, atau disertasi), prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir yang sejenis. Dalam peraturan tersebut memang tidak dieksplisitkan karya seni atau karya kreatif, akan tetapi karya seni, misalnya karya sastra dapat menjadi produk penelitian, prototipe, atau produk dari suatu proyek.

Ada perbedaan ABR dengan penelitian konvensional, khususnya pada bab analisis atau temuan dan pembahasan. Dalam ABR, bab analisis berisi pertanggungjawaban mahasiswa berkaitan dengan produk karya kreatif yang dihasilkannya. Milech dan Schilo, dosen Curtin University of Technology, menamainya dengan istilah “eksegesis”. Menurut mereka, eksegesis dapat berupa model konteks, model komentar, dan model pertanyaan penelitian. Tentu saja, yang sesuai dengan penelitian adalah model yang terakhir. Seperti halnya skripsi, karya ilmiah yang bermuatan eksegesis nantinya akan menjadi penghuni abadi perpustakaan, mungkin suatu saat ada yang membacanya dan sangat mungkin yang dibacanya hanya abstrak dan daftar pustaka. Akan tetapi produk novelnya kemungkinan besar akan terus hidup dan dibaca oleh berbagai kalangan untuk kepentingan hiburan semata atau sengaja dicermati pembaca karena akan melakukan penelitian serupa.

Produk penelitian/kajian dalam bentuk karya sastra bukanlah hal baru. Jean Paul Sartre (1905-1980) menulis drama No Exit dan novel Nause untuk mengeksplorasi filsafat eksistensialisme. Kemudian gagasan Sartre dilanjutkan oleh Simone de Beauvoir (1908-1986). Ada juga kajian filsafat Barat semenjak Yunani Kuno hingga postmodernisme disajikan dalam bentuk novel dengan judul Sofies Verden (Dunia Sophie) oleh novelis Norwegia, Jostein Gaarder (lahir tahun 1952). Filsafat Barat yang kompleks dan menarik dengan mudah dapat kita cerna melalui novel tersebut sebab disampaikan secara populer. Di Indonesia kita mengenal Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) dengan trilogi novel filsafatnya berjudul Grotta Azzura dan Umar Kayam (1932-2002) dengan dwilogi novel tentang transformasi budaya Jawa berjudul 'Para Priyayi' dan 'Jalan Menikung'.

Di negeri orang memang penelitian berbasis fiksi tidak asing lagi dan terus diupayakan oleh para eksponennya agar menjadi bagian dari tradisi penelitian ilmiah. Meski begitu, tokoh ABR Vittoria Rubino pernah berkata, “Sampai saat ini, sejarah penelitian berbasis seni masih sedang ditulis…”. Yuk, kita ikut andil sebagai pelaku ABR! (Sumiyadi - Guru Besar Fakultas Sastra UPI)***

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat