kievskiy.org

Mengatasi Stagnasi Industri Sawit, Perlukah Pembentukan Badan Khusus?

Ilustrasi industri sawit.
Ilustrasi industri sawit. /Freepik/ASphotofamily

PIKIRAN RAKYAT - Potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam industri sawit masih terhambat. Penyebabnya mulai dari regulasi sampai hal-hal teknis. Perubahan regulasi dan ketidakpastian hukum menjadi momok bagi pelaku usaha.

Sementara di sektor perkebunan rakyat, isu peremajaan sawit (replanting) dan kemudahan perizinan mendirikan pabrik Crude Palm Oil (CPO) menjadi krusial. Atas persoalan ini munculah wacana pembentukan badan sawit. Suatu badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Pertanyaannya adalah apakah untuk menyelesaikan persoalan itu harus dengan pembentukan badan sawit atau cukup dengan memperkuat dan memaksimalkan badan yang sudah terbentuk seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menata kembali industri sawit (hulu-hilir) yang sudah carut marut ini?.

Jika ada pendapat bahwa pembentukan badan sawit sebagai jawaban atas stagnasi produksi dan hilirisasi; sebagian besar lahan sawit sudah menua; potensi berkurangnya lahan karena UU Cipta Kerja; dan keterbatasan lahan produksi. Itu masih sebatas asumsi, sebab tidak ada jaminan ketika badan itu terbentuk semua bisa selesai. Sekarang ini saja, UU Cipta Kerja tidak operasional dengan baik, banyak persoalan di sektor kelapa sawit tidak berbenah.

Sejak BPDPKS dibentuk sesuai amanat Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (pasal 93) dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, pada pasal 2 disebutkan Penghimpun Dana Perkebunan bertujuan untuk: menyediakan Dana bagi pengembangan Usaha Perkebunan yang berkelanjutan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Perkebunan; mendorong pengembangan industri hilir Perkebunan; meningkatkan optimasi penggunaan hasil Perkebunan untuk bahan baku industri, energi terbarukan, dan ekspor; meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan Usaha Perkebunan dengan mengoptimalkan harga di tengah fluktuasi harga komoditas Perkebunan dunia; dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan Pekebun/Perkebunan rakyat dari dampak negatif gejolak harga komoditas dunia, juga tidak berjalan maksimal, bisa dikatakan gagal.

Jadi persoalan utamanya bukan pada ada tidaknya badan sawit, tetapi lebih pada komitmen semua pihak untuk melakukan perbaikan dan dorongan mewujudkan industrialisasi sawit nasional agar menjadi pemain utama dalam industri ini, setidaknya menyamai Malaysia.

Apa langkah tepat yang harus dilakukan?

Penulis menggarisbawahi, yang harus dipahami agar Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam industri sawit, maka pemerintah dan lembaga yang sudah ada perlu menyamakan persepsi dan komitmen untuk: Pertama, menjawab stagnasi produksi, sebagaimana hitungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dimana target pemerintah untuk bisa mengerek produksi CPO pada tahun 2045 mencapai 100 juta ton dari yang saat ini hanya 50 juta ton/tahun maka yang harus dikerjakan adalah percepat proses replanting sawit rakyat—sejalan dengan mempermudah akses pekebun rakyat mengakses dana BPDPKS, tingkatkan sumber daya manusianya, dan permudah syarat mendirikan pabrik bagi perkebunan rakyat.

Khusus sumber daya manusia sawit yang berkualitas sangat dibutuhkan dan mendesak. Ini akan memberi dorongan pada peningkatan produksi sawit. Selain itu, menjawab kebijakan hilirisasi sawit yang terus digencarkan pemerintah. Dengan hilirisasi, Indonesia bisa menghasilkan ratusan produk turunan dari CPO dan ini akan memberikan dampak pengganda bagi ekonomi nasional: pendapatan dari pajak ekspor, dan lapangan kerja.

Sementara pabrik sawit, beleid yang berubah-ubah membuat petani merana. Keputusan Dirjen Perkebunan No 62 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Kerangka Pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit merugikan petani karena mencantumkan modal kerja yang nilainya 30 persen dari total keseluruhan biaya investasi. Lebih lanjut terdapat syarat pembangunan pabrik sawit yaitu hamparan kebun sekurang-kurangnya 3.750 ha. Aturan ini harus segera di revisi agar petani memiliki kesempatan masuk pada hilirisasi yang sejalan dengan road map kebijakan hilirisasi pemerintah.

Kedua, jika mengacu pada Malaysia yang memiliki otoritas sawit, maka Indonesia cukup memaksimalkan BPDPKS. Bahwa ada fungsi yang belum bisa dilaksanakan oleh BPDPKS, maka tinggal direvisi baik nomenklatur maupun penambahan tupoksi atau kewenangan sehingga permasalahan saat ini bisa ditangani. Di level koordinasi antar K/L sudah ada Kemenko yang membidangi hal ini dan Presiden sebagai leader mereka cukup menjadi pengontrol internal.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat