kievskiy.org

Student Loan dan Prinsip Kehati-hatian: Solusi atau Tantangan Baru bagi PTN?

Ilustrasi pendidikan.
Ilustrasi pendidikan. /Reuters

PIKIRAN RAKYAT - Dulu, salah satu alasan perguruan tinggi negeri (PTN) memiliki banyak peminat adalah karena murahnya uang kuliah, apabila dibandingkan dengan uang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) yang katanya 'mahal'. Akan tetapi, saat ini alasan tersebut tampaknya sudah tidak relevan. Topik yang marak diperbincangkan dan diberitakan beberapa hari ini adalah tentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di PTN. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan bahwa kenaikan UKT adalah kebijakan masing-masing PTN. Lalu, bagaimana solusi dari kenaikan UKT di PTN yang menjadi incaran calon mahasiswa/i dari berbagai latar belakang ekonomi? Muncullah ide mengenai student loan.

Student loan adalah pinjaman yang diberikan kepada mahasiswa/i untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang meliputi biaya pendidikan dan biaya lainnya seperti biaya hidup, biaya buku (Forbes dalam Kompas.com, 1 Februari 2024). Pelunasan pinjaman beserta bunganya dilakukan setelah mahasiswa/i memperoleh pekerjaan. Pinjaman ini dapat diberikan oleh berbagai pihak misalnya pemerintah dan lembaga keuangan baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank.

Dengan adanya student loan, access to education dapat dinikmati oleh calon mahasiswa/i yang memiliki permasalahan keuangan untuk menempuh studi lanjut. Tujuannya baik, tetapi bukan tanpa risiko. Bagaimana apabila setelah memperoleh gelar sarjana, mereka tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara yang mengawasi lembaga keuangan, telah mengeluarkan pernyataan mengenai student loan. Kepala Eksekutif OJK Friderica Widyasari mengatakan bahwa lembaganya siap mendorong perbankan dalam menyediakan pinjaman khusus untuk pelajar. Lebih lanjut, OJK meminta lembaga jasa keuangan untuk memberikan pinjaman yang dapat dibayar setelah mahasiswa mendapatkan pekerjaan serta pinjaman tersebut memiliki bunga yang rendah seperti dilakukan sejumlah negara asing (Kompas.com, 22 Mei 2024).

Sementara bank sebagai penghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan lainnya, wajib menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi. Dalam hal ini, dengan menggunakan prinsip kehatian-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Analisis 5C

Salah satu perwujudan dari prinsip kehati-hatian tersebut adalah saat memberikan kredit, bank wajib mematuhi Pasal 8 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No.7 Tahun 1992. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa saat bank memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah (pembiayaan), bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad, kemampuan, serta kesanggupan dari debitur untuk melunasi utang atau pembiayaannya sebagaimana yang diperjanjikan.

Dalam penjelasan pasal 8 itu diuraikan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan mengandung risiko, oleh karena itu bank harus memperhatikan jaminan pemberian kredit atau pembiayaan yakni keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya kepada bank sebagaimana yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut bank harus melakukan analisis terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur.

Dalam berbagai literatur hukum perbankan ditekankan bahwa sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan analisis 5C terhadap calon debitur yakni analisis terhadap character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy. Character adalah watak dari calon debitur (di antaranya tidak memiliki kredit macet), capacity adalah kemampuan dari calon debitur untuk melunasi utangnya (memiliki pekerjaan dan penghasilan), capital adalah modal awal yang sudah dimiliki untuk calon debitur sebelum mendapatkan kredit atau pembiayaan dari bank (dalam bentuk uang muka), collateral adalah jaminan berupa benda atau hak tagih yang dapat dieksekusi apabila calon debitur tidak dapat melunasi utangnya (misalnya rumah dan/atau tanah, kendaraan bermotor), dan condition of economy yaitu kondisi perekonomian negara ketika kredit akan diberikan.

Prinsip

Pertanyaannya adalah apabila bank harus memberikan student loan, lalu bagaimana dengan penerapan prinsip kehatian-hatian dalam bentuk 5C sebagaimana telah dipaparkan di atas? Untuk memberikan pinjaman, bank harus memiliki jaminan yaitu keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk mengembalikan pinjaman sesuai dengan yang diperjanjikan, sementara dalam pemberian student loan, bank akan sulit memiliki keyakinan tersebut karena debitur belum memiliki pekerjaan dan penghasilan. Selain itu, dalam pemberian student loan, capacity, capital, dan collateral dalam analisis 5C belum tentu dapat dipenuhi oleh debitur, kembali lagi karena debitur belum memiliki pekerjaan dan penghasilan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian student loan ini tidak sejalan dengan kewajiban bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat