kievskiy.org

Dilema Warung UKM, Terlupakan Saat Pemerintah Bagi-bagi Insentif padahal Paling Butuh Suntikan Modal

Seorang pedagang melayani pembeli di sebuah warung.
Seorang pedagang melayani pembeli di sebuah warung. /Antara/Bayu Pratama S

PIKIRAN RAKYAT - Usaha rakyat berjejaring mulai dari kelontongan hingga warung makan kini siap menantang peluang ekonomi. Sebagian sudah adaptif menggunakan digital, sebagian lainnya bertahan dengan model transaksi konvensional. Poin besarnya, terkadang mereka berjuang tanpa jaminan dan bantuan pemerintah. Kemandirian seolah dilihat datang secara otomatis sekalipun sering dilupakan mereka terkadang banyak mempertaruhkan nasib dengan modal ala kadarnya.

Hubungan antara masyarakat dan usaha ritel rasanya tidak bisa dipisahkan sejak lama, baik itu bagi masyarakat di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Usaha menjadi jembatan utama penghubung antara produsen dengan konsumen. Itulah sebabnya ketika usaha mereka gagal, terdapat dampak negatif pada keluarga dan motivasi berwirasastanya.

Belum lagi usaha kecil seperti warung Madura, warung ucok, maupun warteg, berhadapan dengan ritel mapan dan berjejaring nasional. Dilansir dari McKinsey, usaha ritel modern diperkirakan pertama kali muncul di Amerika Serikat tahun 1916 dengan nama Piggly Wiggly. Perusahaan tersebut mengeklaim bahwa merekalah yang pertama menciptakan metode open shelves yang sampai saat ini banyak ditiru di seluruh dunia, di mana konsumen bisa mengambil barang secara langsung dengan terbuka.

Ingat bahwa ritel-ritel raksasa hari ini semua bermula dari apa yang disebut sebagai toko kelontong atau warung, entitas kecil yang hanya menyajikan segelintir pilihan barang namun signifikan bagi kehidupan sehari-hari. Kemudian mengalami diversifikasi dan perluasan menjadi minimarket, supermarket, bahkan sampai hypermarket.

Studi Euromonitor yang dikutip oleh DataIndonesia, menunjukkan bahwa pada tahun 2022 jumlah usaha ritel dari berbagai jenis dan skala usaha mencapai 3,98 juta unit. Angka ini turun sebanyak 0,9 persen dari tahun sebelumnya (2021), yaitu sebanyak 4,02 juta unit.

Toko kelontong menjadi jenis usaha ritel yang paling banyak ada di Indonesia dengan komposisi 3,93 juta unit atau sekira 98,78 persen dari total usaha ritel dari berbagai jenis yang ada. Meskipun begitu, jumlahnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Lebih lanjut, merujuk kepada laporan yang sama, meskipun jumlah toko berkurang, penjualan masih positif. Penjualan ritel di Indonesia tahun 2022 secara kumulatif tercatat mencapai 100,4 miliar dolar AS atau sekira Rp1.526,9 triliun rupiah (asumsi kurs Rp15.200/dolar AS). Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 8,6 persen dari tahun 2021.

Tren positif tersebut tentunya disebabkan oleh naiknya pendapatan masyarakat yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan standar konsumsi produk. Apalagi, pertengahan tahun 2023 lalu, World Bank kembali mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.

BI menyebutkan bahwa lapangan usaha yang menorehkan pertumbuhan paling signifikan adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta transportasi dan pergudangan. Ketiga industri tersebut masuk dalam ekosistem industri ritel. Pendapatan Negara tahun 2024 diestimasi sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan sumber terbesar dari dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat