kievskiy.org

Korupsi Ugal-ugalan ala SYL, Akibat Ongkos Politik Mahal atau Birokrasinya yang Bobrok?

Syahrul Yasin Limpo (SYL) aat mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Syahrul Yasin Limpo (SYL) aat mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (27/5/2024). / ANTARA/Reno Esnir

PIKIRAN RAKYAT - Kasus korupsi yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor dan menyedot perhatian banyak media massa adalah kasus yang melibatkan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Kasus ini menarik karena cara SYL melakukan penyelewengan uang negara hingga Rp44,5 miliar ini dilakukan dengan cara yang terlalu konvensional dan terbuka.

Disebut konvensional, karena pola korupsi seperti ini sudah jarang dilakukan oleh para oknum pemegang otoritas, apalagi pejabat setingkat menteri yang korup. Bahkan pola tersebut bukan lagi konvensional tetapi cenderung ke korupsi yang “kasar” bahkan “primitif”.

Jarang dilakukan koruptor lain, karena pola yang dilakukan SYL terlalu terbuka, dan “kasar” karena merepotkan bawahannya. Anak buahnya dibuat repot karena mereka harus mencari sumber dana untuk menutup anggaran atau mengatur ulang pertanggungjawaban keuangan atas dana yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi sang menteri. Dikatakan “primitif” karena polanya terlalu sederhana, kurang canggih tidak seperti yang dilakukan koruptor lain sehingga tidak mudah bagi aparat untuk membongkarnya.

Selain itu, pola korupsi seperti ini juga dinilai korupsi yang serampangan dan terlalu gegabah karena segalanya hanya berdasarkan permintaan ke bawahan, sementara para bawahannya pun kerepotan kendati semuanya menggunakan anggaran kantor. Pola korupsi seperti ini pun dinilai kurang elegan karena dianggap memudahkan segalanya.

Betapa tidak, dengan santainya SYL minta kepada anak buahnya agar cicilan mobil Alphard dia dibayarkan. Juga biaya ulang tahun dan khitanan cucunya, biaya kondangan, perawatan kulit (skincare) anak dan istrinya, biaya hiburan, bayar penyanyi dangdut Rp100 juta, hingga memberikan honor bulanan ke pihak-pihak tertentu, bahkan untuk pesta durian senilai Rp46 juta juga minta dibayarkan oleh kantor.

Dia juga meminta biaya untuk umrah keluarga sebesar Rp1,35 miliar, biaya kurban Rp1,6 miliar, kado pernikahan kerabatnya Rp7 juta, pembelian kacamata, kebersihan rumah dinas, beli parfum Rp5 juta, uang jajan untuk istrinya hingga Rp30 juta/bulan, biaya perawatan apartemen hingga Rp300 juta, uang makan Rp3 juta/hari, cicilan kartu kredit Rp215 juta, kado undangan Rp381 juta, dll.

Hampir semua kebutuhan itu merupakan kebutuhan pribadi yang mestinya dibebankan kepada dana pribadi. Nah ini semuanya minta dibayarkan oleh anggaran dari kantor, yang totalnya mencapai Rp44,5 miliar. Semua kebutuhan itu menjadi beban anak buahnya sehingga mereka merasa “diperas” oleh perilaku korupnya ini sehingga infonya sampai ke kantor KPK yang pada akhirnya dia harus duduk sebagai pesakitan.

Diduga, perilaku korup SYL ini memang infonya berasal dari bocoran dari orang dalam yang merasa kesal dengan perilaku seperti ini. Itu sebabnya, tipe kasus ini agak beda dengan tipe kasus yang biasanya ditangani oleh KPK. KPK biasanya menggunakan pola penyadapan telepon dan diakhiri dengan tangkap tangan tersangka pelakunya.

Konvensional

Pola korupsi seperti ini merupakan korupsi konvensional yang dinilai primitif, dan kurang “canggih”. Koruptor masa kini sudah jarang melakukan pola seperti itu. Kebanyakan para koruptor lain mengambil keuntungan lebih ke aktivitas gratifikasi yang bekerja sama dengan pihak lain melalui penyelewengan peraturan perundang-undangan yang ada. Misalkan memenangkan pihak tertentu dalam tender atau memberikan kemudahan kepada pihak tertentu sehingga mendatangkan keuntungan yang besar. Korupsi masa kini acapkali sulit untuk mencari “kerugian keuangan negara” kendati memberikan keuntungan bagi pribadi si pejabat atau bagi pihak lain.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat