kievskiy.org

Impor Gula Sempat Melonjak, Produksi Merosot: Efektifkah Kebijakan Pemerintah?

Ilustrasi gula.
Ilustrasi gula. /Pixabay

PIKIRAN RAKYAT - Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2023 Indonesia mengimpor gula sebanyak 5,06 juta ton, merosot 15,67 persen dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Volume impor gula Indonesia pada 2023 pun menjadi yang terendah sejak pandemi Covid-19.

Kendati volumenya berkurang, nilai impor gula Indonesia pada 2023 lebih tinggi dibanding masa pandemi. Pada 2023 nilai impor gula Indonesia mencapai US$2,88 miliar, turun 3,68 persen (yoy) dibanding 2022, tapi masih di atas level nilai impor 2021-2022. Hal tersebut dipengaruhi harga gula global yang sempat melonjak pada 2023 akibat fenomena cuaca El Nino.

Adapun jika dilihat tren dan nilainya, impor gula Indonesia cenderung meningkat dalam tujuh tahun terakhir, walaupun dari sisi volume terjadi penurunan impor pada tahun lalu. Baik dari segi volume maupun nilainya, angka impor gula pada 2023 memang lebih tinggi dibanding masa pra-pandemi 2017-2019.

Selain itu, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi gula memang cukup besar dan terus membesar karena kecilnya kecenderungan untuk mensubstitusikannya dengan gula buatan atau pemanis lain.

Produksi gula defisit

Posisi komoditas gula Indonesia cukup unik. Pasalnya, secara akumulatif produksi gula Indonesia terbilang defisit dan melakukan impor untuk memenuhi pasokan domestik. Namun, di sisi lain Indonesia juga tetap melakukan ekspor gula ke negara lain. Pada 2021, negara tujuan ekspor Gula Indonesia dominan ditujukan ke negara Vietnam dan Amerika Serikat dengan nilai masing-masing sebesar USD 197.04 juta dan USD 5.23 juta.

Dengan posisi unik tersebut, Neraca Perdagangan gula selama lebih dari lima tahun terakhir menunjukkan defisit dengan volume pertumbuhan tahun 2020-2021 sebesar 6,79 persen, pertumbuhan defisit yang terbilang cukup mengkhawatirkan. Nilai ekspor gula pada 2021 sebesar USD 206,42 juta sedangkan nilai Impornya sebesar USD 2,38 miliar. Bahkan, menurut data dari Statista Global, Indonesia adalah negara importir gula terbesar di dunia berdasarkan jumlah volumenya pada 2020/2021.

Ketergantungan Indonesia kepada impor gula yang cukup tinggi tersebut bisa dilihat dari angka IDR Indonesia. Import Dependency Ratio (IDR) adalah formula yang digunakan untuk menganalisis ketergantungan impor suatu komoditas dalam pemenuhan ketersediaan domestik. Hasil analisis IDR dari 2017–2021 menunjukkan bahwa Indonesia bergantung pada impor gula tebu sangat besar, dimana hasilnya sebesar 64,79 persen hingga 72,72 persen.

Sementara nilai Self Sufficiency Ratio (SSR) gula Indonesia periode tahun 2017-2021 berkisar antara 27,94 persen hingga 35,27 persen. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan gula dari produksi dalam negeri sehingga harus melakukan impor.

Fakta dan data tersebut menggambarkan bahwa urusan gula nasional sebenarnya tidaklah mudah. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengembalikan keadaan agar Indonesia bisa berswasembada gula di dalam waktu dekat. Apalagi dengan cara “ujuk-ujuk” mengkapling dua juta lahan di Merauke, Papua, untuk dikonsesikan kepada pengusaha. Tentu sangat tidak elok.

Masalah

Pemerintah tak perlu belajar jauh-jauh. Proyek food estate yang berangkat dengan logika “menggampangkan” masalah adalah cermin yang paling nyata dan faktual. Tak serta-merta urusan ketahanan pangan selesai hanya dengan menyediakan lahan yang luas untuk proyek food estate. Yang terjadi justru uang negara lenyap tanpa pertanggungjawaban yang jelas di satu sisi dan terjadi alih fungsi lahan secara sepihak di sisi lain, kepemilikannya akhirnya semakin tak jelas juntrungannya. Entah memperkaya siapa, entah untuk siapa lahan tersebut akhirnya, hanya Tuhan yang mengetahuinya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat