kievskiy.org

Membaca Bandung

Cover buku Jejak-jejak Bandung karya Atep Kurnia.
Cover buku Jejak-jejak Bandung karya Atep Kurnia. /Dok. ProPublic Info

PIKIRAN RAKYAT - Bandung adalah kota yang hadir dalam dokumen tapi tidak selalu sanggup merawat monumen. Cerita Bandung masih dapat disimak melalui guntingan koran, majalah, brosur turisme, film, dan terutama buku. 

Adapun hal-ihwal yang muncul di atas lanskap cepat lenyap, sebab kota baru suka merobek kota lama. Kuburan jadi mal, pohon-pohon palem jadi jalan layang, dan toponimi bergonta-ganti. 

Buku “Jejak-jejak Bandung” (2020) karya Atep Kurnia adalah contoh yang baik tentang kota yang awet dalam bahasa. Dalam kasus Bandung, bahasa yang memuat riwayat kota terutama adalah bahasa Sunda dari karuhun, bahasa Belanda dari Laut Utara, dan bahasa Indonesia dari “zaman bergerak”. 

Baca Juga: Purnawirawan Jenderal Sebut Ada Kelompok LGBT di Tubuh TNI-Polri: Dipimpin Sersan Anggotanya Letkol

Pusparagam bahasa itulah yang diandalkan oleh penulis yang amat prolific ini buat mengunjungi sejarah kota yang lanskap sehari-harinya sesungguhnya sudah berbeda.

Atep adalah penduduk Bandung paruh waktu, dan karena itu ia sebetulnya penduduk Cikancung paruh waktu pula. Memang, Cikancung termasuk Bandung juga, terutama jika Anda mengabaikan perbedaan administrasi “kabupaten” dari “kota”. 

Namun, bagi Atep, Cikancung berbeda dari Bandung. Yang satu tempat berdiam, bersama anak dan istri, sedang yang lain tempat bekerja, bersama kolega dan kasir. 

Baca Juga: Ridwan Kamil akan Mewajibkan Restoran, Cafe dan Kantor Gunakan QR Code untuk Atasi Pandemi Covid-19

Atep adalah bagian dari kelimun yang berulang-alik di sepanjang rel kereta, semacam kisah tentang dua ruang. Namun, ia berbeda dari kebanyakan orang sebab di dalam tas punggungnya ada buku, bukan untuk dibaca semata, melainkan juga untuk dijadikan landasan kiprahnya di tengah masyarakat. Ia melihat dirinya sebagai bagian dari ikhtiar kolektif buat menggiatkan literasi. 

Ada terasa ia masih memelihara perbedaan antara kampung dan kota. Dalam prolog koleksi esai ini Atep mengidentifikasi dirinya sebagai Rusdi, protagonis serial bacaan anak sekolah di Tatar Sunda dari permulaan abad ke-20. Ia menyebut dirinya “Rusdi dari Cikancung”, anak desa yang berangkat ke kota dengan mata terbuka. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat