kievskiy.org

Mengungkap Penyebab Cuaca Dingin Awal 2022 dan Kabar Bumi Menjauhi Matahari

Ilustrasi bumi.
Ilustrasi bumi. /Pixabay/qimono

PIKIRAN RAKYAT -  Cuaca di Indonesia awal 2022 relatif lebih dingin dari biasanya. Fenomena ini ­kemudian viral di jagat maya.
 
Ada warganet menghu­bung­kan fenomena cuaca dingin awal 2022 dengan Aphelion karena jarak bumi dengan matahari sedang dalam titik terjauh saat periode revolusi atau Aphelion. Betulkah demikian?
 
Menurut peneliti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geo­fisika (BMKG) Bandung Muhammad Iid Mujtahidin, saat matahari berada dalam posisi terjauh dari bumi, memang suhu akan terasa dingin.
 
”Tapi, saat ini, justru bukan waktu terjadinya fenomena Aphelion karena biasanya terjadi Juli,” kata Iid di Bandung, Kamis 13 Januari 2022.
 
 
 
Iid mengatakan, penurunan suhu saat ini tidak berkaitan dengan Aphelion. Penyebabnya adalah karena Indonesia berada pada puncak musim kemarau. Selain itu, di­pengaruhi pula oleh aliran massa dingin dari Australia menuju Asia.
 
 
Iid menjelaskan, cuaca dingin saat ini terjadi karena mu­sim kemarau serta dipengaruhi angin tenggara dan timur. Mes­ki Januari dan Februari 2022 merupakan puncak dari musim hujan, kondisinya tidak merata di selu­ruh wilayah.
 
Ada faktor lain yang menyebabkan perbedaan puncak musim hujan. Saat ini, kata Iid, data harian menunjuk­kan masih ada kelembapan awan hujan sehingga di sejumlah wilayah hujan masih tertahan.
 
Ditambah lagi, ­angin kencang regional yang menyebabkan tidak semua wilayah mengalami dampak yang sama.
 
 
”Ada beberapa wilayah yang tidak hujan tapi ada sebagian yang hujan dengan intensitas sedang dan lebat. Malah ada yang masih berpotensi ekstrem. Seka­rang trennya bergeser ke wila­yah timur,” ujarnya.
 
 
Menurut Iid, saat ada ­angin siklon, seperti siklon tropis Tiffany, akan ter­jadi penurunan suhu. Suhu terendah yang pernah terjadi pada Agustus 1987 adalah 11,2 derajat Celsius. Namun secara umum sekarang ber­kisar 15-17 derajat Celsius.
 
”Data maksimum di Bandung siang ini sekira 28,8 derajat Celsius. Ini bisa me­nye­babkan kondisi cuaca di permukaan terasa 20-21 de­rajat Celsius,” ujarnya.
 
Iid mengata­kan, karena saat ini masih dalam periode musim hujan, akan ada peningkatan curah hujan diiringi bencana hidrologi dan meteorologi.
 
 
Rasio air
 
Peneliti Observatorium Bosscha Yatny Yulianty menyebut, pada 2022, Perihelion terjadi pada 4 Januari sekira pukul 13.52 waktu lokal Bandung. Adapun Aphelion tercapai pada 4 Juli mendatang, pukul 14.20.
 
Lantaran jarak antara bumi dan matahari yang ber­ubah, kata dia, logis untuk berpikir bahwa saat ber­ada di Aphelion, bumi akan lebih dingin.
 
”Sinar matahari yang jatuh di bumi pada Juli (Aphelion) memang sekira 7 persen lebih rendah dibandingkan pada Januari (Perihelion),” kata Yatny, Kamis 13 Januari 2022.
 
Meski demikian, dia me­nekankan, persentase sinar matahari yang lebih rendah itu sebetulnya tidak lantas membuat cuaca lebih dingin. Bahkan, saat Aphelion, suhu di permu­kaan bumi secara rata-rata relatif sama panas.
 
”Hal itu disebabkan karena distribusi dataran dan air (lautan) di bumi tidak sama. Benua dan lautan tidak ter­sebar merata di seluruh ba­gian dunia, ada lebih banyak daratan di belahan bumi utara dan lebih banyak air di selatan,” katanya.
 
Selama Juli atau ketika men­dekati awal musim pa­nas di utara, bagian utara bumi yang padat akan condong ke arah matahari. Suhu di bumi (rata-rata di seluruh bagian dunia) sedikit lebih tinggi pada Juli karena matahari menyinari seluruh daratan itu, yang agak mudah memanas.
 
”Begitu pula saat Januari, bagian bumi belahan selatan sedang mengalami musim pa­nas. Namun, posisi Peri­helion tidak lantas mening­katkan suhu musim panas di selatan, karena di belahan bu­mi selatan didominasi air, dengan rasio da­ratan banding air adalah 4:11,” katanya.
 
Yatny menerangkan, air memiliki kapasitas panas yang lebih tinggi daripada da­ratan. Artinya, air mem­butuhkan energi panas yang lebih banyak untuk menaik­kan suhunya daripada kebutuhan daratan.
 
Akibatnya, sedikit pening­katan sinar matahari diimbangi oleh rasio air terhadap tanah yang lebih tinggi.
 
Cuaca di permukaan bumi yang tidak begitu terpengaruh oleh fenomena Aphelion dan Perihelion juga disebabkan jarak bumi dan matahari.
 
”Lagi pula, selisih jarak antara saat Aphelion dan Perihelion hanya sekira 4,8 juta kilometer. Jarak tersebut sangat kecil dibandingkan jarak rata-rata bumi ke ma­tahari yang sekitar 150 juta kilometer,” katanya. 
 
Tak berpengaruh
 
Hal senada dikatakan pe­neliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional Andi Pangerang. Dia mengatakan, Perihelion dan Aphelion tidak ber­pengaruh signifikan terha­dap kenaikan atau penurun­an suhu permukaan bumi. Kenaikan dan penurunan suhu akibat dua fenomena tersebut hanya sekira 2 de­rajat Celsius.
 
Suhu rata-rata permukaan bumi adalah 15 derajat Celsius. Saat bumi mencapai jarak terdekat dengan matahari (Perihelion), intensitas radiasi matahari menjadi meningkat sehingga suhu permukaan bumi menjadi 17,4 derajat Celsius. Terjadi kenaikan suhu permukaan bumi 2,4 derajat Celsius.
 
Sebaliknya, saat bumi mencapai jarak terjauh dari matahari (Aphelion), intensitas radiasi matahari menurun sehingga suhu permukaan bumi menjadi 12,6 derajat Celsius.  Hal itu sama artinya turun 2,4 derajat celcius dari rata-rata suhu permukaan bumi.
 
De­ngan perubahan suhu yang tidak signifikan itu, Andi me­ngatakan, tidak ada dampak yang perlu dikhawatirkan.
 
Menurut Andi, perubahan suhu yang tidak signikan terjadi karena bentuk orbit bumi yang tidak terlalu lonjong.
 
Oleh karena itu, kondisi suhu yang terasa lebih dingin atau lebih panas saat dua fe­nomena itu terjadi lebih di­pengaruhi oleh faktor iklim.
 
Saat Aphelion terjadi Juli 2022, di Australia se­dang musim dingin. Angin muson dari negara itu yang terbawa ke Indonesia bagian selatan membuat udara akan lebih dingin.***
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat