kievskiy.org

Rutan Salemba Potret Bobroknya Pengelolaan Lapas Indonesia, Solusinya Masih Hilang Timbul

ILUSTRASI penjara.*
ILUSTRASI penjara.* /Pixabay

PIKIRAN RAKYAT - Koalisi Pemantau Peradilan mendesak pemerintah dan DPR serius membahas pembaharuan kebijakan pidana untuk membenahi permasalahan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang menjadi bagian dari  koalisi mengatakan, hal ini seiring pengakuan eks Tapol Surya Anta, yang membeberkan bobroknya pengelolaan lapas di Rutan Salemba.

Kepada Pikiran-rakyat.com, Selasa, 14 Juli 2020, Erasmus menyebut pengakuan Surya sejatinya tak mengejutkan. Karena hal ini sudah diketahui cukup luas.

Baca Juga: Sempat Viral, Kasus Pegawai Dishub yang Hadang Ambulans Pembawa Pasien di Depok Berujung Damai

Namun yang memprihatinkan, meski terus terjadi tak ada solusi komprehensif untuk mengentaskan hal ini.

Sebagai catatan, sebelum kebijakan pelepasan warga binaan untuk pencegahan penyebaran COVID-19, per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang.

"Padahal kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132.335 orang. Kesimpulannya beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204%," ucap Erasmus.

Baca Juga: Juventus Cari Hari Baik Scudetto Serie A 2019-2020, Tantangan Inter dan Lazio Rusak Pesta Si Nyonya
 
Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul. Pemerintah tidak begitu memperhatikan bahwa pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan.

Dalam lampiran Permenkumham tersebut, dinyatakan bahwa upaya penanganan overcrowding juga harus dilakukan dengan melakukan perubahan kebijakan dan mereformasi paradigma penghukuman yang kental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Baca Juga: 4 Bulan Pandemi Covid-19, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil Kehilangan 3 Sahabat Dekatnya
 
"Permenkumham ini menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif melakukan penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa dalam masa persidangan. Per Maret 2020, jumlah tahanan di Rutan/Lapas di Indonesia menyumbang 24% dari jumlah penghuni. Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan," kata dia.

Padahal KUHAP menyediakan mekansime lain, misalanya tahanan kota, tahanan rumah atau pun mekanisme penangguhan penahanan.

Erasmus menambahkan untuk penahanan Rutan, KUHAP pun sudah menyatakan bahwa seorang Tersangka “dapat” dikenai penahanan, dan bukan “harus” dikenai penahanan. Sikap seperti ini yang dikritik Permenkumham ini.

Baca Juga: Hitung Harta Kekayaan Raffi Ahmad Lebih dari Rp 100 Miliar, Tukul Arwana: Ngitungnya Aku Bingung
 
Lampiran Permenkuham No. 11 tahun 2017 hal. 6, kata Erasmus menyebut "Pola pikir praktis seperti ini sangat berdampak pada isi hunian di Lapas dan Rutan, karena semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan maka semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia atau lazim disebut overcrowded"
 
"KUHAP dalam ketentuan mengenai penahanan membatasi syarat dilakukannya penahanan syarat objektif dan subjektif. Sayangnya, syarat subjektif penggunaannya sangat bergantung dari penilaian aparat penegak hukum. Apabila aparat penegak hukum berpendapat bahwa pelaku akan melarikan diri, maka penahanan dapat dilakukan. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini, karena pra-peradilan hanya terbatas memeriksa perihal administratif dan hanya dapat dilakukan apabila ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar," ucap dia.
 
Selain kritik terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif, Permenkumham No. 11 tahun 2017 tersebut juga menaruh catatan terhadap kondisi minimnya alternatif pemidanaan dalam sistem peradilan pidana saat ini. Kritik tersebut juga disampaikan untuk beberapa rumusan dalam RKUHP.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat