kievskiy.org

Dosen Unpad Bicara Urgensi RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta Kemandirian BPOM

Ilustrasi obat sirop dan pentingnya RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta kemandirian BPOM.
Ilustrasi obat sirop dan pentingnya RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta kemandirian BPOM. /Pixabay/frolicsomepl Pixabay/frolicsomepl

PIKIRAN RAKYAT - Agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan serta Kemandirian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bergulir sejak akhir 2018 di DPR RI kembali mengemuka usai tragedi keracunan obat sirop merenggut ratusan nyawa.

Peristiwa kelam di medio 2022 itu merenggut tak kurang dari 199 nyawa konsumen yang didominasi usia anak. Kasus gagal ginjal akut yang disebabkan senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) tak pelak menyita perhatian publik atas fakta adanya celah pada sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia.

Kejadian itu menyadarkan publik akan perlunya penguatan pada sistem pengawasan obat dan makanan yang paripurna sehingga masyarakat merasa lebih terlindungi dari paparan produk berbahaya bagi kesehatan.

Tantangan bagi otoritas pengawas di Indonesia saat ini memang kian kompleks sebab dihadapkan dengan luasnya cakupan wilayah dan kondisi geografis kepulauan Indonesia, pertumbuhan jumlah penduduk, globalisasi dan perdagangan bebas, perkembangan ilmu teknologi dan e-commerce, penyelundupan produk ilegal, hingga singgungan mandat perundang-undangan.

Baca Juga: BPOM: Kopi Mengandung Obat Kuat Masih Beredar karena Ada Permintaan Masyarakat

Ahli Farmakologi dan Farmasi Klinik dari Universitas Padjadjaran Bandung Prof Keri Lestari, dalam rilis yang diterima Selasa, 24 Januari 2023, merangkum tantangan bagi otoritas pengawas obat dan makanan menjadi dua bagian yakni faktor keamanan dan kemandirian yang harus berjalan pararel dengan tujuan yang sama untuk menghasilkan produk yang terjamin secara mutu dan keamanan serta dilengkapi data yang jelas sebelum sampai ke tangan konsumen.

Tantangan untuk menghadirkan produk yang aman tidak boleh sampai berimplikasi pada proses birokrasi panjang, rumit, bahkan membutuhkan biaya besar.

Seperti diketahui, industri farmasi nasional memproduksi sekira 90 persen dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi, dan berbagai produk obat lainnya. Tapi, kasus pencemaran obat hanya terjadi spesifik pada jenis sirop dan tidak terjadi pada semua jenis produk obat dari industri farmasi lainnya.

Data menunjukkan, sekira 5 persen dari ragam obat sirop yang sempat beredar dikabarkan tercemar, dan kurang dari 2 persen dari total obat yang beredar juga tercemar. Sementara itu, lebih dari 94 persen obat sirop lainnya layak dikonsumsi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat