kievskiy.org

Ketika Tim Siber Pemerintah bak Pemadam Kebakaran Ketimbang Instrumen Pencegahan

Ilustrasi keamanan siber.
Ilustrasi keamanan siber. /Pexels/Pixabay

PIKIRAN RAKYAT - Tim yang menjaga keamanan siber di lembaga pemerintahan belum cukup mampu untuk mengatasi masalah yang muncul, apalagi untuk mencegahnya. Tim bernama Computer Security Incident Response Team (CSIRT) itu pun dinilai terlambat menangani insiden siber sehingga terlanjur memberikan dampak finansial dan reputasi.

Pakar Keamanan Siber sekaligus Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, bahkan mengatakan, tim itu hanya bertindak seperti pemadam kebakaran. Tujuan untuk memperkuat pertahanan siber negara pun tidak tercapai.

"Menurut saya, banyak CSIRT ini hanya jadi pemadam kebakaran dan bukan difungsikan sebagai instrumen pencegahan yang memiliki kemampuan deteksi dini," kata Ardi, Jumat, 8 September 2023.

Pada Rabu, 6 September 2023, Kementerian Dalam Negeri secara resmi meluncurkan Computer Security Incident Response Team (CSIRT) di Depok, Jawa Barat. Dalam rilis di situsnya, peluncuran itu dinyatakan sebagai upaya inovatif memperkuat pertahanan siber negara. Di era digital yang semakin kompleks, keamanan siber yang kuat disebutkan menjadi salah satu prioritas utama pemerintah.

Baca Juga: YouTube DPR Diretas IP Adress Asal Amerika, BSSN Singgung Software Bajakan Milik Admin Medsos

Akan tetapi, Ardi mencontohkan tim serupa, yaitu CSIRT di DPR. CSIRT itu diluncurkan DPR pada Februari 2022. Namun, baru-baru ini, akun YouTube DPR RI bahkan diretas sehingga menampilkan dua tayangan video judi online secara live. Peretasan itu terjadi Rabu pagi, 6 September 2023 dan terpantau baru pulih sekitar pukul 10.30 WIB.

"Di DPR juga sudah dibentuk oleh BSSN, tapi situs judi online juga muncul. Dulu di BSI juga sudah ada tim CSIRT, jebol juga. Kalau kalau hanya jadi pemadam kebakaran, artinya sudah terjadi insiden yang merugikan baik secara finansial dan reputasi, dan biayanya sebagai dampak sangat mahal dan besar," ujarnya menambahkan.

Dikatakannya, tim itu kebanyakan lebih mengandalkan fungsi otomatisasi dari teknologi deteksi yang ada, ketimbang kemampuan analitikal. Padahal, era sekarang memperlihatkan bahwa gejala awal serangan atau indicator of compromise sudah tidak lagi dapat dideteksi dengan sensor.

"Teknik dan teknologi pengelabuannya juga sudah semakin canggih dan kompleks," kata Ardi.
Selain itu, ia menambahkan, peretas di zaman sekarang juga sudah semakin canggih dan mengikuti perkembangan teknologi. Para peretas mempergunakan buku pintar yang sama dengan pengembang teknologi antiserangan siber.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat