kievskiy.org

Politik Uang dalam Pilkada Serentak 2020 Harus Ditanggulangi Bersama

Ilustrasi Pilkada Serentak 2020.
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020. /Pikiran-Rakyat.com/Fian Afandi

PIKIRAN RAKYAT - Pemilihan Kepala Daerah yang akan digelar serentak di sejumlah daerah Desember 2020 nanti disebut masih akan diwarnai oleh politik uang.

Dalam diskusi press gathering “MPR Rumah Kebangsaan” di Serang, Banten, Sabtu, 5 September 2020.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) di MPR, Muhammad Arwani Thomafi tak memungkiri kalau menghapus praktik politik uang bukanlah hal yang mudah.

Baca Juga: Ravil Ravv Rilis Single Debut 'Mengalir Saja'

Menurut Arwani selagi belum ada kesadaran dari semua pihak maka praktik ini pun sulit dihilangkan.

Ini dinilai sulit dihilangkan karena belum adanya kesadaran semua pihak tentang pentingnya pilkada yang bersih dari praktik politisasi uang. Oleh karena itu sebagai rumah kebangsaan, sudah semestinya MPR menjadi pilot yang mengikis praktik buruk dalam demokrasi ini.

“Kalau saja semua memiliki kesadaran tinggi akan bahaya politik uang maka pelaksanaan pilkada yang menjadi pesta demokrasi masyarakat di daerah diyakini akan membawa masyarakatnya menjadi lebih baik,” ucap Arwani.

Baca Juga: Meradang Lihat Boneka Seks Mirip Putrinya Beredar di Toko Online, sang Ibu: Aku Syok dan Marah

Isu politik uang dalam pilkada disinggung Arwani menyusul pernyataan Menko Polhukkam Mahfud MD yang menyatakan hal senada.

Menurut Mahfud baik Pilkada langsung atau tidak, politik uang tetap akan terjadi.

“Sebab (politik uang) bisa saja datangnya dari pasangan calon sebagai peserta pilkada, bisa dari partai politik, bahkan datangnya bisa dari masyarakatnya sendiri sebagai pemilih. Tapi saya pernah mengurai itu, tradisi itu calon yang memulai,” kelakar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini.

Baca Juga: Viral Video Sekelompok ABG Hentikan Truk, Terlindas hingga Picu Tabrakan Beruntun

Arwani mengatakan dari beberapa pilkada di daerah yang ia temui, ada partai politik yang berupaya menegakan aturan main dengan menolak mahar politik. Namun, politik uang justru muncul dari tim pendukung paslon yang memaksakan rekomendasi dengan sejumlah uang.

“Parpolnya meminimalisir, tapi paslonnya yang nguber-nguber,” sebut Wakil Ketua Umum PPP ini.

Realitas di masyarakat juga seringkali seperti itu. Boleh jadi paslon dan partai selaras dan memiliki visi dan misi yang bagus. Tapi masyarakat punya keinginan lain. “Kalau nggak ada uangnya maka nggak mau nyoblos (pasangan calon bersangkutan),” ungkap Arwani.

Baca Juga: Bak Hacker Profesional, Siswa SMA Mampu Retas Server Sekolah dan Hentikan Kelas Online

Dia mengungkapkan inisiatif politik uang juga kerap datang dari masukan tim support paslon seperti lembaga survei maupun konsultan politiknya. Alasannya untuk memengaruhi pemilih di wilayah yang dianggap masih lemah untuk paslon tertentu.

“Saya kritisi itu karena tidak hanya partai politik tapi kita minta juga support dari lembaga survei, teman-teman pakar gunakan kepakarannya untuk meminimalisir politik uang bukan malah nunjukin,” ujar Wakil Ketua Umum PPP ini.

Sementara itu, Wakil ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyoroti keprihatinan di masyarakat tentang fenomena pasangan calon pilkada melawan kotak kosong yang masih mewarnai penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Hidayat mengatakan Pilkada melawan kotak kosong sebenarnya tidak perlu terjadi apabila syarat angka threshold pengajuan paslon dalam pilkada diturunkan.

“Kalau angka threshold sebagai persyaratan pengajuan calon diturunkan dalam pilkada maka calon menjadi banyak dan tidak akan terjadi, apa yang disebut melawan kotak kosong,” ucap Hidayat.

Oleh karena itu, ia berharap para pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah dan DPR mau merevisi syarat pengajuan angka batas minimal (threshold) pengajuan pasangan calon untuk pilkada berikut di masa mendatang.

Selama ini, syarat pengajuan pasangan calon pilkada diikat oleh ketentuan pasal 40 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mengatur bahwa partai politik atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD. Selain itu pencalonan juga bisa dilakukan dengan 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Syarat pengajuan yang dibatasi oleh angka threshold sebesar itu, menurut Hidayat telah memberatkan banyak pihak yang sebenarnya ingin maju dalam pilkada terbentur oleh ketentuan itu. Di sisi lain, ruang hadirnya calon independen dalam pilkada tidak semudah yang diharapkan publik.

“Jadi munculnya fenomena kotak kosong dalam pilkada karena angka threshold yang terlalu tinggi sehingga tidak memungkinkan partai-partai untuk bisa mengajukan calonnya,” sebut Hidayat.

Lebih jauh, Hidayat mengatakan pada prinsipnya ia mendukung perlunya pembatasan calon untuk menjadi peserta dalam pilkada maupun pemilihan presiden. Karena diyakininya, pembatasan merupakan bagian dari aturan main.

“Jadi menurut saya salah satu diantara yang bisa dilakukan adalah kembali pada Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 terkait dengan penyelenggaraan pilkada. Yaitu diselenggarakan dengan cara demokratis. Artinya bahwa secara demokratis itu bukan berarti democrazy tanpa aturan. Tetapi tetap harus ada aturan,” ucapnya.

Hidayat meyakini dengan menurunkan ambang batas atau threshold bagi partai politik bisa mengajukan pasangan calon di pilkada, maka fenomena pembelahan di masyarakat dalam kubu-kubuan yang memunculkan konflik kuat juga dapat dihindari.

“Jadi kalau kemudian diturunkan thresholdnya atau direndahkan lagi akan banyak alternatif dan tidak akan menimbulkan pembelahan,” ucap dia.

Selain Arwani dan Hidayat, diskusi juga menghadirkan Ketua Kelompok Kerja DPD RI di MPR Insiawati Ayus, dan Anggota MPR/DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Andi Akmal Pasludin. ***

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat