kievskiy.org

Sutradara dan 3 Pakar di Dirty Vote Dipolisikan, Upaya Bungkam Pihak yang Ungkap Dugaan Kecurangan Pemilu

3 ahli hukum tata negara selaku pemeran utama film Dirty Vote, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
3 ahli hukum tata negara selaku pemeran utama film Dirty Vote, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. /X @Dandhy_Laksono

PIKIRAN RAKYAT - Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) melaporkan sutradara film dokumenter Dirty Vote dan tiga pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari ke Mabes Polri. Ketua Umum Foksi M Natsir Sabih berujar, empat orang tersebut dinilai menentang Undang-Undang Pemilu.

"Karena justru di masa tenang memunculkan film tentang kecurangan pemilu yang bertujuan membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres, itu bertentangan dengan UU Pemilu," katanya, Selasa, 13 Februari 2024.

Dilaporkannya empat orang yang terlibat dalam film dokumenter yang sudah mencapai 13 juta views itu direspons Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 12 organisasi, meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, KontraS, ICRJ, SAFENet, Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, ELSAM, PSHK, dan YAPPIKA.

"Langkah itu merupakan upaya untuk membungkam pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu dan menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024," demikian pernyataan resmi Koalisi Masyarakat Sipil tersebut, Selasa.

Selain itu, disampaikan pula bahwa semua tuduhan yang disampaikan DPP Foksi adalah keliru, pertama karena Dirty vote diproduksi secara kolaboratif oleh jurnalis dan organisasi masyarakat sipil, pembiayaan pembuatan film dokumenter itu juga dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil. Kedua, narasi kampanye hitam yang didukung penggunaan ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 dan 287. Dalam Pasal 280 ayat (1) sampai (4) sama sekali tak melarang pengungkapan atau publikasi fakta-fakta pelanggaran pemilu seperti yang diungkap dalam Dirty Vote.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, upaya menarasikan film dokumenter itu sebagai kampanye hitam merupakan bentuk deligitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film itu. Lalu yang ketiga, film tersebut tak dibuat untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu, sebaliknya film tersebut merupakan kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik.

"Seluruh kandidat capres-cawapres yang berkontribusi pada bentuk-bentuk dugaan kecurangan Pemilu 2024 disebut dalam film berdurasi hampir 2 jam tersebut," katanya lagi.

Siapa di balik Dirty Vote?

Dirty Vote dibuat oleh Watchdoc, disutradarai oleh Dandhy Laksono, yang juga merupakan sutradara Sexy Killers, film yang tayang menjelang Pemilu 2019. Film dokumenter berdurasi sekira 2 jam itu menarik perhatian publik, dalam dua hari, mencapai 13 juta views.

Film itu dibuat sekira dua pekan melalui pelbagai proses, yakni mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. Pembuatannya melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch (ICW), JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat