kievskiy.org

Skandal Pungli di Rutan Koruptor, Pil Pahit dari Revisi UU KPK

Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). /Pikiran Rakyat/Asep Bidin Rosidin

PIKIRAN RAKYAT - Pada Februari 2024, Indonesia digemparkan oleh skandal yang mencoreng reputasi lembaga antikorupsi terkemuka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebanyak 78 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di KPK terlibat dalam perilaku tidak terpuji dengan melakukan pungutan liar di dalam rumah tahanan KPK.

Tindakan ini mengejutkan publik, mengingat KPK telah lama dianggap sebagai benteng terakhir dalam memerangi korupsi di negara ini. Perilaku para ASN ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang integritas dan kejujuran para penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam memerangi kejahatan korupsi.

Kejadian ini menyoroti eskalasi permasalahan korupsi yang masih merajalela di Indonesia, bahkan di dalam institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Ketika ASN yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam memberantas kejahatan korupsi justru terlibat dalam praktik yang melanggar hukum, hal ini menunjukkan adanya kegagalan dalam pembinaan dan pengawasan internal di KPK.

Selain itu, juga menunjukkan bahwa masalah korupsi tidak hanya terbatas pada individu atau golongan tertentu, tetapi telah merasuki struktur dan budaya institusi.

Reaksi publik terhadap perilaku 78 ASN di KPK yang terlibat dalam pungutan liar di rutan KPK ini mencakup kekecewaan, kemarahan, dan tuntutan untuk melakukan reformasi mendalam di KPK. Masyarakat menuntut agar pelaku korupsi tidak hanya dihukum secara pidana, tetapi juga harus dilakukan langkah-langkah restrukturisasi dan peningkatan pengawasan internal di KPK untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.

Selain itu, hal ini juga menjadi panggilan bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk lebih serius dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi di semua tingkatan.

“Tapi memang hukuman untuk mereka sudah benar. Mereka meminta maaf dan diberikan hukuman kedisiplinan karena itu aturan yang mengikat mereka,” ujar pakar hukum pidana Universitas Islam Bandung, Prof Edi Setiadi kepada kontributor Pikiran Rakyat Dewiyatini pada Rabu, 28 Februari 2024.

Edi mengatakan hal itu merupakan konsekuensi dari perubahan status pegawai KPK menjadi ASN. Mereka terikat dengan aturan sebagai ASN dengan hukuman kedisiplinan. “Ini akan beda ceritanya jika mereka dikenakan aturan kode etik KPK. Pelanggaran atas kode etik akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat,” ujarnya.

Akan tetapi dengan status ASN, lanjut Edi, jangan pernah berharap akan ada hukuman pemecatan bagi ASN. Selain itu, perlu diingat, para ASN ini tidak akan terkena efek jera dengan hukuman kedisiplinan. Kalau pun kembali terjadi pelanggaran, kata Edi, hanya akan ada permintaan maaf, teguran, dan paling berat teguran tertulis.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat