kievskiy.org

Lampu ­Kuning ­Kebijakan ­Pendidikan, dari Kekerasan Seksual hingga Belajar Online

Petugas dengan kostum Captain Amerika menghibur sejumlah siswa sekolah dasar yang akan mendapatkan vaksinasi Covid-19 di Kompleks SDN Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu 15 Desember 2021.
Petugas dengan kostum Captain Amerika menghibur sejumlah siswa sekolah dasar yang akan mendapatkan vaksinasi Covid-19 di Kompleks SDN Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu 15 Desember 2021. /Antara/Sigid Kurniawan

PIKIRAN RAKYAT - Persoalan mengenai kebijakan yang kontraproduktif menimpa dunia pendidikan. Bukan hanya masalah proses belajar mengajar yang berubah menjadi daring sejak pandemi Covid-19, tapi juga kebijakan yang berkaitan dengan regulasi penyelenggaraan sistem pendidikan.
 
Cecep mengatakan, kebijakan pendidikan justru sering kali menimbulkan kontroversi yang kontraproduktif.
 
Misalnya, kontroversi peta jalan pendidikan yang kurang berbasis pada nilai agama, persoalan ketidakpastian hukum ujian nasional (UN), isu tidak wajibnya mata pelajaran/mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai muatan kurikulum dalam PP No. 57 Tahun 2021, serta hilangnya beberapa tokoh agama dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.
 
Ada pula wacana penarikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan, sampai pada yang terakhir, yakni pembubaran BSNP yang tidak tertib hukum.
 
 
 
”Belum lagi persoalan learning loss yang terjadi akibat adanya pandemi Covid-19. Berbagai kontroversi bidang pendidikan tersebut, jika ditarik benang merahnya, ialah akibat adanya inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan. Persoalan regulasi pendidikan saat ini sudah menunjukkan lampu kuning,” katanya.
 
Menurut dia, kebijakan pendidikan yang dibentuk sering kali kurang memiliki landasan hukum yang kuat dan kurang berbasis akademik atau kaidah ilmiah.
 
Berbagai kebijakan baru yang dibentuk seperti tidak memiliki kajian akademik dan melalui tahapan evaluasi kebijakan yang komprehensif.
 
Kondisi itu dikhawatirkan menciptakan persepsi di masyarakat bahwa kebijakan pendidikan yang dibentuk saat ini seolah-olah trial and error.
 
 
Selain itu, pembenahan kebijakan pendidikan pun selalu bersifat parsial dan belum memperbaiki seluruh komponen sistem pendidikan secara komprehensif.
 
Belum lagi terkait dengan persoalan keselarasan dan konsistensi antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sering tarik-menarik kebijakan dan saling lempar tanggung jawab antara pemangku kepentingan.
 
Ia pun menyebutkan beberapa rekomendasi solusi untuk kebijakan bidang pendidikan tersebut.
 
Pertama, berkaitan dengan pandemi Covid-19, pemerintah secara praksis mesti membuat alternatif kebijakan yang merupakan konsekuensi disrupsi pendidikan.
 
Pemerintah harus cerdas dan cepat meng­ubah paradigma kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough) dan menghindari pola pikir yang umum (business as usual).
 
Kedua, pemerintah segera menyiapkan kerangka dasar untuk mengubah regulasi yang sudah tidak relevan, termasuk merancang kurikulum masa depan dengan mengimplementasikan konsepsi Merdeka ­Belajar yang menyesuaikan era pandemi.
 
Hal itu termasuk urgensi dibentuknya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional baru model omnibus law.
 
Ketiga, perlu adanya grand design atau peta jalan pendidikan nasional yang mampu membawa arah pendidikan mencapai ­Indonesia Emas 2045 serta menggambarkan kontiunitas implementasi kebijakan pendidikan secara step by step dan periodik.
 
Ketiga, dibentuknya norma, standar, pe­doman, dan kriteria bidang pendidikan agar mampu menciptakan keselarasan dan keharmonisan kebijakan pendidikan antara pusat dan daerah.
 
Kelima, dilibatkannya semua elemen pendidikan dan pemangku kebijakan dalam merumuskan setiap kebijakan.
 
Perlu ada tim khusus yang merepresentasikan berbagai elemen pendidikan untuk memberikan masuk­an dan kritikan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
 
Tim terdiri atas para pakar di perguruan tinggi sesuai dengan bidangnya, guru, dosen, tenaga kependidikan, LSM, maupun organi­sasi kemasyarakatan yang memiliki kontribusi bagi kemajuan dunia pendidikan.
 
Keenam, melakukan reorientasi dan realokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, termasuk pemenuhan amanat konstitusi minimal 20 persen.
 
Ketujuh, perbaikan kualitas guru dan peningkatan kesejahteraan guru serta jaminan kepastian hukum status dan jenjang karier guru.
 
Kebijakan multitafsir
 
Didin Muhafidin yang juga Rektor Universitas Al Ghifari mengatakan, kebijakan dalam dunia pendidikan memang sering pro-kontra, seperti kebijakan tentang pena­nganan dan pencegahan tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi.
 
Kebijakan itu ada yang menimbulkan multitafsir, terutama pasal tentang kalau sepersetujuan korban tidak bisa dituntut, itu dianggaap legalisasi perzinaan di kalangan kampus.
 
Ada pula kebijakan tentang pelarangan dosen menjadi pengurus yayasan yang juga menimbulkan pro-kontra. Secara faktual, hampir semua pengurus yayasan adalah dosen.
 
Mengenai kebijakan pembelajaran daring selama pandemi, ia juga berpendapat bahwa itu merugikan, terutama bagi siswa yang tidak mampu.
 
Selain masalah kepemilikan telefon seluler, ada juga kendala kepemilikan kuota. Kuota dari pemerintah sangat tidak mencukupi karena untuk mengikuti kuliah daring satu mata kuliah saja bisa menghabiskan beberapa giga sehingga secara ekonomi sangat memberatkan.
 
Ia memberikan saran supaya pemerintah melakukan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung. ­
 
Semua dosen dan mahasiswa pun diberikan pelatihan yang merata dan adil agar bisa mengikuti kegiatan kuliah dari dengan lebih mamadai.
 
Pemerintah harus meningkatkan biaya hidup untuk program Kartu Indonesia Pintar yang disesuaikan dengan tingkat inflasi dan kemahalan masing-masing daerah.
 
Dengan begitu, bantuan biaya itu bisa mendekati cukup untuk biaya minimum pengadaan buku, makan, dan sebagainya.
 
Dari seluruh evaluasi kebijakan itu, Didin mengatakan bahwa pemerintah harus membuat kebijakan yang betul-betul bertujuan meningkatkan kesejahteraan publik, bukan malah sebaliknya. Formulasi kebijakan harus sesuai dengan model kepentingan publik, bukan model elite.
 
”Objek kebijakan adalah masyarakat yang akan langsung merasakan dampak dari ­penerapan suatu kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah jangan tersinggung ketika tingkat kepatuhan publik kecil (rendah) karena ­menganggap pemerintah kurang peduli ­dengan masalah-masalah publik,” ujarnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat