kievskiy.org

Hari Pendidikan Nasional, Ada Semangat yang Sudah Kita Lupakan

Ilustrasi sekolah.
Ilustrasi sekolah. /Pikiran Rakyat/ Vienasella Sriputri

PIKIRAN RAKYAT - Sejak tahun 1959 tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal tersebut berkaitan dengan hari lahir RM Soerjadi Soerjaningrat, seorang bangsawan Pakualaman, yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh yang memusatkan aktivitasnya di bidang pendidikan. Tahun 1922 Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa, sebuah sistem pendidikan yang mengutamakan karakter serta bakat setiap siswa.

Setelah berdiri Taman Siswa, bisa dikatakan di Indonesia terdapat tiga sistem pendidikan, yakni sistem sekolah Belanda, sistem pesantren dan sistem Taman Siswa. Di samping mementingkan pendidikan karakter, Taman Siswa juga menanamkan semangat kebangsaan. Hal itu terlihat dari semangat keteladanan (ing ngarso sung tulodo), prakarsa (ing madyo mangun karso) dan memberikan dorongan (tut wuri handayani) yang menjadi pedoman utamanya. Ki Hadjar sendiri sempat diangkat sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 1950.

Meski pedoman sistem pendidikan Taman Siswa yang ketiga, yakni tut wuri handayani, dijadikan sebagai penanda Kementerian Pendidikan, tapi semangatnya makin lama makin luntur. 

Sistem pendidikan yang berlaku saat ini cenderung lebih menekankan komersialisasi ketimbang gagasan ideal yang pernah dipelopori oleh Ki Hadjar. Bahwa semangat pendidikan dari tokoh pendidik yang satu ini diupayakan untuk terus dihidupkan terbukti dari gagasan terbentuknya sekolah Taruna Nusantara. 

Sekolah yang lokasinya di Magelang ini merupakan sistem pendidikan semi-militer, didirikan atas kerjasama TNI dan Taman Siswa. Semangat kebangsaan merupakan benang merah dalam sistem pendidikannya.

Di tengah suasana Hardiknas tahun ini, mungkin selayaknyalah jika kita mencoba melakukan pemikiran ulang terhadap kondisi pendidikan, yang mesti kita akui, justru menimbulkan banyak masalah itu. Perubahan status guru merupakan salah satu di antaranya.

Mendidik merupakan pengabdian seumur hidup. Siapa pun yang sempat merasakan manfaat pendidikan, tentu tidak akan lupa kepada peran guru. Sosok inilah, dalam segala kesederhanaannya, telah memberikan motivasi kepada setiap anak didiknya, sehingga manakala yang bersangkutan terjun ke masyarakat, telah ada bekal yang menjadi miliknya. Tidak benar jika dikatakan bahwa guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Jasa guru justru akan terbawa seumur hidup.

Mesti diakui, kualitas pendidikan bangsa kita masih belum mampu menyamai, bagaimana pula mengunggulinya, dengan mutu pendidikan beberapa negara tetangga. Bisa diduga, kesenjangan tingkat pendidikan seperti itu terkesan tidak menjadi tujuan utama dari sistem pendidikan yang berlaku sekarang. Pakar pendidikan di negeri ini justru terlalu terpaku pada perdebatan-perdebatan akademis tentang makna pendidikan.

Marilah kita tengok ulang apa yang telah digagas Ki Hadjar Dewantara seabad silam. Mantranya terpusat pada trimatra, yakni teladan, prakarsa dan memberikan dorongan. Apakah sistem pendidikan kita mengutamakan keteladanan? Dengan spontan kita akan langsung menggelengkan kepala. Padahal justru inilah salah satu kunci utama proses pendidikan.

Kita sudah lama mengabaikan pentingnya pendidikan karakter. Meskipun kita penuh semangat mengulang-ulang Trisakti Bung Karno, kita belum juga menemukan semangatnya. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat