kievskiy.org

Temuan Peneliti FOSES, Ada Oligopoli Ketat di Struktur Pasar Industri Hasil Tembakau

Petani menjemur daun tembakau di Desa Kedungdowo, Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (24/9/2020). Petani mengeluhkan harga tembakau kering pada tahun ini ditingkat petani turun menjadi Rp12 ribu per kilogram dibanding tahun 2019 sebesar Rp18 ribu per kilogram untuk daun bawah dan tengah, sedangkan daun atas kering Rp20 ribu per kilogramnya tahun lalu masih Rp25 ribu per kilogram akibat rendahnya kualitas tembakau serta adanya pandemi COVID 19. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/NZ
Petani menjemur daun tembakau di Desa Kedungdowo, Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (24/9/2020). Petani mengeluhkan harga tembakau kering pada tahun ini ditingkat petani turun menjadi Rp12 ribu per kilogram dibanding tahun 2019 sebesar Rp18 ribu per kilogram untuk daun bawah dan tengah, sedangkan daun atas kering Rp20 ribu per kilogramnya tahun lalu masih Rp25 ribu per kilogram akibat rendahnya kualitas tembakau serta adanya pandemi COVID 19. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/NZ /SYAIFUL ARIF ANTARA FOTO

PIKIRAN RAKYAT - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana akan menaikan tarif cukai rokok pada 2021. Namun, sejumlah pihak, khususnya petani tembakau dan kalangan industri hasil tembakau (IHT), dan kepala daerah menyatakan keberatan atas rencana yang dinilai akan merugikan mereka.

Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) dalam penelitian yang dilakukannya, turut mendukung sikap berkeberatan yang ditunjukan oleh mereka. FOSES meninjau Aspek Ekonomi dan Hukum atas dampak kebijakan penyederhanaan tarif cukai terhadap struktur pasar industri tembakau, serta mengukur dampak kebijakan cukai terhadap heterogenitas pasar. 

Ketua tim riset FOSES Putra Perdana menyampaikan sejumlah temuan pokoknya, yaitu:

 Baca Juga: Demo Tolak UU Cipta Kerja di Kota Tasikmalaya, Diwarnai Perusakan Pos dan Gerbang Kantor DPRD

  1. Struktur pasar IHT bersifat oligopoli ketat. "Saat ini terdapat empat pemain besar yang menguasai pasar rokok di Indonesia yang hanya menyisakan 17,2 persen pangsa pasar untuk pemain di tingkat kecil-menengah," kata Putra dalam keterangannya, Rabu 7 Oktober 2020.
  2. Kenaikan cukai mempengaruhi harga dan hilangnya varian brand rokok. Kenaikan cukai rokok jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) dapat menghilangkan sekitar enam varian brand di pasar. Sedangkan untuk rokok jenis SPM (Sigaret Putih Mesin), kenaikan cukai sebesar 8,3 kali lipat akan menghilangkan satu varian brand. 

Pada jenis rokok SPT (Sigaret Putih Tangan), kenaikan harga transaksi pasar karena kenaikan CHT (Cukai Hasil Tembakau) dan HJE (Harga Jual Eceran) sebesar 1,56 kali lipat, membuat hilangnya satu brand pada golongan 2 dan 3.

 Baca Juga: PUKAT UGM: UU Cipta Kerja Rawan Sentralisasi Kekuasaan, Rentan Potensi Korupsi

  1. Adanya penyamaan tarif cukai SKM ke golongan SPM menyebabkan tekanan terutama setelah penyetaraan cukai pada masing-masing golongan. Cukai pada SKM golongan 1 menekan volume rokok sebesar 1,29 persen, setelah penyetaraan berubah menjadi 5,44 persen, sedangkan pada SKM golongan 2 cukai menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 3,27 persen setelah sebelumnya hanya menekan volume sebesar 2,75 persen.
  2. Penggabungan SPM dan SKM menyebabkan tekanan terhadap volume rokok. Penggabungan SKM dan SPM ke SM pada golongan 1 dengan batas produksi 3 miliar menyebabkan perusahaan langsung berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan pada golongan tersebut. Simulasi pada satu perusahaan yang beraktivitas pada golongan 2 SKM dan SPM menunjukkan adanya potensi penurunan volume hingga 45,66 persen dari volume rokoknya.

Putra menilai, apabila aturan penyederhanaan tarif cukai ini diterapkan dapat menghasilkan dampak kontra produktif bagi industri seperti simulasi di atas. 

 Baca Juga: Pergantian Pelatih Kiper jadi Bahasan Rapat Tim Pelatih Persib, Agenda Satu Bulan Sudah Disiapkan

Ketidakmampuan para pelaku industri untuk bersaing dapat mengarahkan industri hasil tembakau ke struktur pasar oligopolistik, bahkan dalam level yang lebih ekstrem bergeser ke monopoli, di mana hanya ada segelintir pelaku industri yang mendominasi pasar, yaitu pelaku industri yang berasal dari golongan atas, yang telah memiliki pangsa pasar yang besar pula.

Jika kondisi tersebut terjadi, tentu hal ini berlawanan dengan visi demokrasi ekonomi dari Nawa Cita butir 6 dan butir 7, terkait peningkatan kualitas hidup, serta kemandirian ekonomi melalui sektor strategis domestik. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat