kievskiy.org

Kasus DBD Meningkat, Apakah Wolbachia Efektif?

Ilustrasi Aedes aegypti. Melihat efektivitas wolbachia menurunkan kasus demam berdarah dengue (DBD)?
Ilustrasi Aedes aegypti. Melihat efektivitas wolbachia menurunkan kasus demam berdarah dengue (DBD)? /Pixabay/francok35

PIKIRAN RAKYAT - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maxi Rein Rondonuwu bilang, tak ada hubungan antara penyebaran nyamuk dengan wolbachia dengan tingkat keganasan Aedes aegypti, penyebab demam berdarah dengue (DBD). Karakteristik Aedes aegypti di daerah yang sudah disebar wolbachia maupun yang belum tetap sama.

Menurutnya, tanda dan gejala orang yang digigit Aedes aegypti juga sama, seperti demam tinggi diikuti nyeri otot, mual, muntah, sakit kepala, mimisan, dan gusi berdarah. "Bahkan, tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan setelah wolbachia dilepaskan," katanya dalam keterangan yang diterima, Selasa, 2 April 2024.

Dia bilang, penyebaran nyamuk ber-wolbachia sudah terbukti efektif menurunkan kasus DBD di Yogyakarta. Sejak kali pertama disebar pada 2017, nyamuk ber-wolbachia terbukti menurunkan 77 persen angka kejadian dengue dan 86 persen kejadian masuk rumah sakit.

Berdasarkan pantauan Kemenkes dan Dinas Kesehatan di kota-kota tempat nyamuk ber-wolbachia disebar, yakni Semarang, Kupang, Bontang, Bandung, dan Jakarta Barat, konsentrasi nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia yang ada di alam berada di kisaran 20 persen setelah pelepasan. Menurutnya, angka itu masih di bawah persentase nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia yang idealnya mencapai 60 persen di alam.

"Setelah populasinya mencapai 60 persen, pelepasan ember nyamuk ber-wolbachia akan ditarik kembali dan hasil penurunan kasus dengue baru akan mulai terlihat setelah 2 tahun, 4 tahun, 10 tahun, dan seterusnya seperti implementasi yang dilakukan di Kota Yogyakarta," ucap dia menerangkan.

Teknologi aman

Ilustrasi pasien dirawat di rumah sakit karena DBD.
Ilustrasi pasien dirawat di rumah sakit karena DBD.

Maxi pun memastikan bahwa penerapan teknologi wolbachia aman lantaran memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang ada pada serangga. Selain itu sudah melalui proses penelitian yang cukup panjang.

Penelitian teknologi wolbachia di Yogyakarta dilakukan 12 tahun, mulai 2011 hingga 2023. Melewati empat tahapan penelitian, meliputi fase kelayakan dan keamanan (2011—2012), fase pelepasan skala terbatas (2013—2015), fase pelepasan skala luas (2016—2020), dan fase implementasi (2021—2022).

Maxi mengatakan bahwa di dunia, studi pertama aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT) yang merupakan sebuah desain dengan standar tertinggi. Di Indonesia, analisis risiko diinisiasi Kemenristekdikti dan Balitbangkes Kemenkes, melibatkan 20 orang dari berbagai kepakaran.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat