kievskiy.org

Bersatu: Utopis kah? Analisis Buku Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqih yang Terlupakan

NU dan Muhammadiyah.
NU dan Muhammadiyah. /NU-Muhammadiyah

PIKIRAN RAKYAT - Buku ini sangat menarik untuk ditelaah, dipelajari dan—bila perlu merekunstruksi—pemahaman keagamaan ummat, sehingga idealisasi ummat yang bersatu menjadi sebuah keniscayaan.

Walaupun penulisnya, Mochammad Ali Shodiqin ragu, galau—dalam bahasa Jawa disebut ewuh pakewuh—untuk membuka kembali dokumen Fiqih Muhammadiyah 1924. Dengan bahasa yang sangat indah ia mengilustrasikan "Dilema mendera antara dibuka atau tidak kotak misterius ini. Sedangkan malam gulita melarutkan angkara. Apakah kotak itu berisi matahari yang kita harapkan? Ataukah justru ular berbisa?" Lalu ia melanjutkan, "Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 itu seolah membeku di peti es. Membaca kitab itu serasa dihujani jarum. Menulis ulang kitab itu serasa tertusuk sembilu. Di sana ada ranjau yang bisa menjebak hawa nafsu. Lalu apa pentingnya kitab itu ditulis, jika tidak untuk dibuka kepada orang lain? Apa untungnya menggelapkan dokumen sejarah bagi anak keturunan sendiri".

Reaksi jelas akan muncul—tulus atau tidak—dengan membuka kembali dokumen fiqih ini. Tetapi penulisnya meyakini bahwa orang Muhammadiyah dan NU tidaklah seperti yang kita bayangkan. Mereka bukanlah manusia yang berbedak debu tebal yang baru menamatkan proses evolusinya di rimba belantara yang mengumpat dengan bahasa Tarzan.

Mereka adalah kaum beradab yang tidak perlu diperintah untuk mandi di hulu. Sebab, mereka bersih secara alami, seperti ikan di laut  yang lebih bersih daripada artis ibu kota. Mereka memahami al-Quran dan hadits dari dulu, sebab Islam telah memasuki wilayah Nusantara ribuan tahun lalu.

Baca Juga: Lionel Messi Ingin Pulang ke Barcelona, Terungkap Perasaannya Selama Ini

Metamorfosa Muhammadiyah

Kitab fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924, sesungguhnya bukan hanya warisan berharga bagi warga Muhammadiyah saja, melainkan juga warga NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU. Masalahnya hanya satu, bahwa tahun 1924 itu NU belum lahir.

NU lahir tahun 1926, dua tahun setelah kitab itu terbit dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang ditulis dalam kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini—yaitu fiqih mazhab Syafii.

Dengan demikian, walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih sebagaimana yang ada di dalam fiqih Muhammadiyah 1924 itu. Artinya, di masa awal berdirinya, Muhammadiyah itu adalah NU, fiqihnya menggunakan mazhab Syafii yang sama dengan orang NU.

Baca Juga: Stafsus Milenial Dikritik: Disebut 'Gincu' Pemerintahan Jokowi hingga Hamburkan Anggaran Negara

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat