kievskiy.org

Lawan Persija Wajib Main di Bandung

PERSIB.*/ARMIN ABDUL JABBAR/PR
PERSIB.*/ARMIN ABDUL JABBAR/PR

SETIAP kali pertandingan kandang Persib gagal digelar di Bandung karena alasan keamanan (tidak terbitnya izin keramaian) maka sikap saya selalu sama, yaitu menyayangkan pihak kepolisian yang terkesan ingin bermain aman. Padahal polisi sebagai perwujudan negara justru harus hadir dan menjamin keberlangsungan aktivitas warga negara secara aman dan lancar, bukan lantas meniadakannya. Karena untuk itulah aparat dipersenjatai, diberi pelatihan, diberi anggaran yang layak, serta dianggap mampu, berdaya dan profesional dalam melaksanakan fungsi keamanan dalam negeri, maka harapan besar bobotoh yang “memaksa” agar Persib bisa main di Bandung sesungguhnya adalah bentuk kepercayaan dan prasangka baik tentang kemampuan polisi yang dibanggakan oleh masyarakat. Namun khusus pertandingan menjamu Persija yang lagi-lagi terancam gagal digelar di Bandung karena alasan agenda politik, maka telunjuk penyesalan tidak hanya diarahkan kepada pihak kepolisian, namun juga layak ditujukan kepada para pejabat daerah, manajemen Persib hingga bobotoh itu sendiri.

Pasang badan

Setiap kali laga Persija terkendala perizinan, seketika saya selalu teringat almarhum Ayi Beutik, pentolan bobotoh kharismatik. Beberapa kali fase jelang pertandingan yang rumit menemukan titik terang ketika dirinya berani pasang badan dan menjamin bobotoh takkan berulah. Salah satu yang paling diingat tentunya ucapan Ayi Beutik yang mengatakan bersedia mencium kaki kapolda Jabar saat itu asalkan Persib diizinkan menjamu persija di kandangnya sendiri.

Dalam beberapa kesempatan memang saya seringkali mendengar pertanyaan dari pihak aparat tentang siapa yang akan bertanggung jawab seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini semacam syarat  dan jaminan yang bisa diartikan upaya paksa  kepada seluruh pihak untuk sebisa mungkin menjaga kondusivitas sebagai jawaban kepercayaan yang diberikan.

Tantangan terkait siapa yang berani bertanggung jawab ini pula yang sebenarnya bisa dijadikan peluang untuk meninjau kembali keputusan pihak kepolisian agar menerbitkan izin keramaian.

Dalam berbagai kesempatan Persib seringkali disebut dalam rangka politis dan popularitas termasuk sebagai identitas dan kebanggaan daerah, maka tak habis pikir rasanya Persib yang diklaim sana-sini ternyata tak diperjuangkan oleh seorang pun penguasa teritori di Bandung dan Jawa Barat. Hingga detik ini belum ada kabar terkait lobi dan dialog serius dari pejabat tinggi daerah terkait izin pertandingan Persib, yang ada justru dua laga bergengsi harus terlewati dengan mengecewakan, tunda lawan Arema dan memindahkan venue ke Bali saat menjamu Persebaya.

Selain para pejabat katanya Persib pun didukung oleh para pengusaha kakap, anggota dewan yang terhormat, serta purnawirawan TNI dan senior-senior di instansi kepolisian, tak perlu dijelaskan rasanya ekspektasi bobotoh kepada orang-orang hebat jenis ini terkait terbitnya izin untuk menjamu Persija bulan ini. Sekadar mengingatkan, kepastian dan amannya laga di Bandung nanti sesungguhnya akan berimbas positif bagi mereka yang berkutat di segmen ini, di antaranya: citra baik dan ucapan terima kasih yang ternilai dari bobotoh kepada jajaran kepolisian, kewibawaan birokrat dan anggota dewan yang meningkat karena terbukti ada gunanya untuk Persib dan bobotoh serta dampak makro lain seperti persepsi baik tentang kondusivitas daerah yang akan menimbulkan kenyamanan berinvestasi dan wisata.

Kegagalan bobotoh

Satu hal lain yang menyakitkan andai Persib benar-benar gagal menjamu Persija Jakarta di kandangnya sendiri adalah isyarat bahwa bobotoh tak lagi memiliki posisi dan daya tawar yang signifikan terkait pengambilan kebijakan. Bobotoh yang memiliki banyak kelompok suporter dan tokoh-tokohnya terbukti tak lagi diperhitungkan sebagai  pressure group (kelompok penekan) yang perlu didengar aspirasinya, bobotoh tak lagi dianggap memiliki power untuk memengaruhi penguasa. Tentunya ini sangat menyedihkan jika dikaitkan dengan sejarah bobotoh baik secara kualitas maupun kuantitas. Terlebih memang tak ada langkah nyata dari bobotoh untuk memerankan diri sebagai pressure group, mereka yang dianggap berpengaruh tak memiliki konsep dan tindakan yang mempu mengejawantahkan ekspektasi bobotoh yang marak ditemui di media sosial. Bobotoh dengan klaim jumlah terbanyak nyatanya bak penggerutu yang tidak jelas maunya apa, tak memaksakan adanya audiensi dengan pihak terkait dan tuntutan pun tidak dilakukan dengan jelas. Sekali lagi, ini sangat menyedihkan. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat