kievskiy.org

Covid-19 Gerogoti Kesehatan Pilkada

ILUSTRASI pilkada serentak, demokrasi.*
ILUSTRASI pilkada serentak, demokrasi.* /FAUZAN/ANTARA FOTO ANTARA FOTO

PIKIRAN RAKYAT - Apa jadinya jika peserta kampanye pemilihan kepala daerah  dibatasi hanya diikuti 20 orang sebagaimana tertuang di dalam draf Rancangan Peraturan KPU tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dalam Kondisi Bencana Nonalami ?

Dalam draf Rancangan PKPU tersebut, sejumlah kegiatan kampanye yang mengumpulkan massa dalam jumlah yang banyak dilarang. Debat kandidat pun hanya akan dihadiri pasangan calon dan anggota tim kampanye dalam jumlah terbatas. Pemilih di dalam TPS dalam satu waktu dibatasi tidak lebih dari 12 orang. Penerapan protokol kesehatan mengharuskan anggota KPPS menggunakan alat pelindung diri (APD), mengatur tempat duduk, dan mengukur suhu mereka yang datang ke tempat pemungutan suara.

Penerapan protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada bukan hanya akan membuat pesta demokrasi lokal tersebut sehambar pertandingan sepak bola tanpa dihadiri penonton, tetapi juga berpotensi menggerogoti kesehatan pilkada karena beberapa alasan berikut.

Baca Juga: Kunjungi Kafe Buat Nongkrong, 8 Pengunjung di Blitar Terbukti Reaktif COVID-19 Saat Rapid Test

Kesatu, pilkada yang sehat ditandai partisipasi politik warga secara luas, otonom, sukarela dan bertanggung jawab.

Sayangnya hingga kini kognisi dan ruang psikologi warga masih didominasi bayang-bayang ketakutan, kecemasan, dan ketidakpastian menghadapi pandemi. Jika pandemi belum benar-benar bisa dikendalikan, akan sulit mengajak warga keluar dari bayang-bayang korona. Pandemi telah menjadwal ulang agenda warga, dan menempatkan apa pun (selain korona dan kebutuhan menyambung hidup) sebagai tidak mendesak.

Kondisi ini diperparah oleh keterbatasan suplay “nutrisi politik” akibat pembatasan sejumlah kontak dengan kandidat, dan pelarangan berbagai bentuk kampanye. Dalam kondisi seperti ini akan sulit berharap keputusan politik warga dibentuk berdasarkan pengetahuan, evaluasi kritis, dan digerakkan kesadaran politiknya. Keterbatasan seperti  ini akan menjadi ruang terbuka bagi beragam operasi kotor.

Baca Juga: Kemelut 5G di Tanah Britania, Huawei Terbitkan Iklan Satu Halaman Penuh di Surat Kabar Inggris

Memang kandidat bisa berkampanye dan menjalin kontak secara online. Namun “ontology digital”, atau kesenjangan akses (utamanya jaringan internet) dan kepemilikan perangkat masih menjadi kendala serius di negeri ini. Lebih dari itu, secara teoretik perjumpaan di udara (baik online, maupun melalui perantaraan media luar ruang seperti baliho, spanduk, dan pampflet) tidak memiliki pengaruh sekuat tatap  muka dan kontak langsung.

Kedua, wabah korona telah menyapu semua agenda media, menunda rencana dan membuat agenda di luar menangani Covid-19 sebagai hal tidak penting. Pemerintah daerah pun memfokuskan ulang program dan anggarannya. Hal ini berarti, jika bukan satu-satunya, penanganan Covid-19 menjadi jalur utama kontak antarwarga, dan antara warga dan aparat pemerintah.  

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat